Minggu, 17 Oktober 2010

Lagu Gombloh, Jaket Bersejarah, dan Kenaikkan Gaji

Perayaan ulang tahun Fikom Unpad kali ini memiliki banyak arti. Ada yang memaknainya sebagai waktu bermuhasabah (evaluasi diri), nostalgia, dan berbagi ceria. Ada pula yang mengartikannya sebagai “momen” untuk kenaikan gaji.

***

Ketika itu giliran alumni Fikom Unpad angkatan 1984 untuk unjuk gigi ke atas panggung. Tanpa ragu, belasan dari mereka menyanyikan lagu “Kugadaikan Cintaku” karya Gombloh. Lagu “Kugadaikan Cintaku” memang populer tahun 1980-an. Saya tak menyangka lagu ini buat heboh penonton dan punya kesan mendalam. Sampai-sampai mereka menyebutnya sebagai “lagu kebangsaan” angkatannya.

Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu.
Ku telepon, ke rumahmu.

Sedang apa sayangku?

Kuharap engkau mendengar

dan kukatakan rindu.


Kehebohan “Reuni Akbar Fikom Unpad” (9/10) mulai terasa ketika 4 penerjun landing pada pagi harinya. Dengan membawa bendera Fikom, mereka menarik minat pengunjung yang sebagian besar merupakan alumni. Sementara itu, acara diawali dengan gerak jalan yang pesertanya berasal dari kalangan alumni, pegawai, dan mahasiswa.
“Kami sengaja menampilkan sesuatu yang berbeda pada perayaan ulang tahun Fikom tahun ini. Semoga saja di ulang tahun emas ini, kita dapat bermuhasabah dan terus menjalin silaturahim dari setiap elemen yang ada di Fikom,” ungkap Hadi Suprapto, ketua pelaksana rangkaian acara dies natalis Fikom Unpad ke-50.

Dari data yang tercatat, lebih dari 800 orang hadir dalam perayaan yang menghabiskan dana 27 juta rupiah tersebut. Kebanyakan dari mereka merupakan alumni yang dahulu sempat berkuliah di kampus Bandung sebelum Fikom pindah dan memiliki gedung sendiri di Jatinangor tahun 1993. Seperti halnya Bob, alumni jurusan Jurnalistik angkatan 1984 yang merupakan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurnalistik pertama. Ia mengungkapkan bahwa sudah sejak lama menantikan momen macam ini. Pria bertubuh tambun dan memiliki ciri khas dengan topi pad ini sengaja meluangkan waktu ditengah-tengah kesibukkannya sebagai dosen tetap di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara.

“Saya sengaja datang dari Yogja untuk bernostalgia dengan teman-teman lama. Saya juga membawa jaket jurnal pertama yang dikira sudah hilang selama ini. Siapa tahu saja bisa dimuseumkan dan jadi kenang-kenangan,” terangnya.

Menambahkan keterangan Bob, Ganjar Nugraha alumni angkatan 1978 yang juga merupakan ketua Ikatan Keluarga Alumni Fikom Unpad periode ini menceritakan tentang segudang pengalamannya ketika ia berkuliah. Dahulu Ganjar dikenal sebagai mahasiswa yang memiliki banyak kesibukkan. Ia juga aktif diberbagai kegiatan mahasiswa dan sempat “memperkuat” tim Persib ketika jamannya.

Ia memiliki kenangan manis ketika seorang dosen memintanya untuk berhenti sejenak dari kegiatan di luar kampus. Dosen itu mengharapkan Ganjar agar fokus dan menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Mengingat semasa berkuliah, ia dikenal sebagai mahasiswa yang pintar dan kritis. Sangat sayang jika tersendat karena disibukkan oleh sederet jadwal latihan dan pertandingan Persib.

“Saat itu kaki saya patah. Bu Betti menjenguk dan menasehati saya agar terus berkuliah. Saya terharu jika mengingat kejadian itu,” tutur Ganjar yang juga merupakan adik kandung dari Rektor Unpad ini.

Pada kesempatan itu, ia juga berpesan kepada seluruh alumni agar tetap melanjutkan esensi dari acara ini. Mengingat banyak potensi yang masih terpendam dari Fikom untuk terus digali. Tidak lain adalah rencana menjadikan Fikom Unpad sebagai fakultas bertaraf internasional dan terbaik se-Indonesia. Menurutnya harus ada kelanjutan dari acara untuk mencapai target itu.
“Saya pikir alumni harus membantu Fikom untuk menggapai cita-citanya. Mungkin bantuan itu merupakan balas jasa setelah apa yang mereka dapatkan ketika kuliah dahulu,” tambahnya.

Rasanya momen kali ini dapat dijadikan sarana introspeksi dan “obat rindu” untuk mereka yang pernah memiliki kenangan manis atau pahit. Sementara itu dipojok ruangan gedung 5, terlihat 6 orang sedang duduk dan mencoba bersantai. Mungkin dalam angannya, mereka berharap akan ada “perubahan” setelah acara ini.

***

Wajah Luki terlihat lesu. 2 sofa cokelat tua yang disandarkannya berbunyi krekk.. krekk... krekk... ketika tubuhnya bergerak. Sudah 2 hari terakhir ia, Erwan, Dadin, Yayan, Oni, dan Yatno tidak tidur. Selain bertugas membersihkan sampah sisa makanan peserta acara “Reuni Akbar Fikom Unpad”, ia juga harus mengangkat dan menyiapkan lebih dari 500 kursi sehari sebelumnya. Belum lagi perlengkapan yang minta disiapkan panitia acara secara mendadak. Meja, panggung, serta beberapa stand makanan.

“Kalau dibilang capek, ya capek. Tapi ya harus bagaimana lagi. Kita hanya orang kecil (suruhan),” ujarnya.

Luki Sudia lahir di Bandung 33 tahun silam. Sudah hampir 10 tahun terakhir, ia bekerja sebagai cleaning service di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, Jatinangor. Sebelumnya, Luki bekerja sebagai buruh di pabrik Kimia Farma, Bandung. Baru pada pertengahan Juli 2001 ia mendaftarkan diri ke CV. Jatinangor yang bertindak sebagai penyalur tenaga cleaning service ke Unpad. Ia juga sempat “bebersih” di Fakutas Psikologi dan Gedung Program Terpadu Basic Science (PTBS) yang dikenal dengan “gedung biru” kurang dari 1 bulan.

“Pertama kali kerja di Unpad, saya hanya digaji 50 ribu per bulan. Sekarang paling besar 650 ribu. Kalau mau dihitung, tentu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan,” terang Luki yang memiliki tubuh gempal dan kulit gelap.

Menjadi seorang cleaning service memberikan banyak pengalaman untuk ayah 2 orang anak ini. Ada yang menyenangkan, banyak pula yang menyedihkan dan membuatnya kesal. Mirisnya hal yang menyedihkan itu hampir tejadi tiap hari. Yakni ketika banyak mahasiswa yang sengaja lewat seenaknya ketika ia mengepel lantai gedung. Tentu saja lantai yang sudah dipelnya harus diulang. Ditambah lagi kebiasaan buruk mahasiswi yang sering membuang pembalut ke kloset. Walhasil ia harus bekerja ekstra keras guna mengambil pembalut itu dan membuangnya.

Cerita yang paling menyebalkan ketika dirinya melihat sepasang mahasiswa di ruang kelas di salah satu gedung. Awalnya Luki mengira mereka sedang mendiskusikan tugas atau membicarakan materi kuliah yang baru saja selesai. Tanpa pikir panjang, ia berlalu dan menuju kamar mandi untuk membersihkan dan mengecek keran air. Sesaat kemudian ia mendengar suara kaca pecah dari ruang yang dilaluinya tadi. Ia bergegas dan mencari tahu kejadian apa yang terjadi. Betapa kagetnya Luki ketika mendapati kaca pintu ruang itu telah pecah berkeping-keping dipukul mahasiswa yang ternyata sedang marah dengan sang pacar. Sementara itu, sepasang mahasiwa tadi sudah tidak ada di ruangan.

“Mahasiswa sekarang dan dulu itu berbeda. Kalau mahasiswa sekarang cenderung acuh dengan kita. Mereka sering seenaknya!”

Kisah menyedihkan seperti itu tidak hanya dirasakan Luki. Melainkan oleh beberapa orang yang bertugas sebagai cleaning service atau pekerja kasar lainnya di Unpad. Gaji kecil, pembayaran uang lembur yang telat, dan kurangnya koordinasi antara pegawai merupakan hal biasa yang harus mereka rasakan.

“Kalaupun boleh berharap, saya minta kenaikan gaji. Semoga saja rencana Fikom yang ingin menargetkan taraf internasional (World Class University) ikut juga menaikkan taraf hidup kita sebagai pekerja, “ ujar Luki.

Luki kembali pada posisi bersandar ketika awal saya menemui dan meminta izin untuk mewawancarainya. Saya tidak tahu apa yang dirasa dan ia pikirkan setelah itu. Entah itu tentang kenaikan gaji atau hanya mengumpulkan tenaga karena harus bekerja keras lagi setelah acara usai.