Senin, 15 Juni 2009

Muasal Nama "Indonesia"

George Samuel Windsor Earl (1813) adalah sosiolog kelahiran Inggris. Ia merupakan orang pertama yang menggunakan istilah “Indu-Nesians” untuk menjabarkan cabang ras Polinesia di daratan Madagaskar hingga Formosa. Earl menulisnya dalam artikel berjudul Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia tahun 1850. Namun, terminologi ini ia buang lantaran dianggap terlalu umum dan menggantinya dengan Melayunesians. Malayunesians sendiri berasal dari bahasa Tamil atau Dravidia, Malaya, yang berarti gunung.

Pendapat lain datang dari James Richardson Logan. Logan merupakan kolega Earl yang lahir di Berwickshire, Skotlandia, pada 10 April 1819. Berbeda dengan Earl, Logan memutuskan untuk tetap menggunakan terminologi Indonesia. Pikirnya Indonesia merupakan istilah yang tepat untuk menjabarkan wilayah jajahan Belanda dari segi geografis ketimbang etnografis.

"I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders". (Robert R. Elson, 2008).

Sebelumnya, banyak sebutan untuk mewakili daerah jajahan belanda ini. The Eastern Seas, The Eastern Islands, Indian Archipelago, Hindia Timur, dan Insulinde oleh Eduard Douwes Dekker. Baru pada 17 Agustus 1945, terciptalah sebuah negara bernama Indonesia.

Sahabat Setia Anak Rimba

Delapan tahun sudah perempuan ini “bercengkrama” di tengah rimba Bukit 12, Jambi. Dengan fasilitas dan sarana yang minim, ia pun berikar: “Aku ingin Orang Rimba pintar!"

Saur Marlina Manurung lahir di Jakarta pada 21 Februari 1972. Ia merupakan anak sulung dari 5 bersaudara. Di keluarga, Butet, panggilan akrab Saur memang agak berbeda dibandingkan saudara-saudaranya. Hal ini terlihat jelas pada hobinya yang tak lazim bagi kaum hawa, mountaineering.

Kecintaan Butet pada kegiatan yang penuh adrenalin ini, bermula ketika ia menjadi anggota mahasiswa pecinta alam di Univesitas Padjadjaran, Palawa. Dari sinilah ia sering “jalan-jalan” dan akhirnya menetap selama delapan tahun di Bukit 12, Provinsi Jambi. Bukit 12 sendiri merupakan Taman Nasional yang terdapat di daerah Jambi. Di bukit ini terdapat suku asli Jambi, Suku Anak Dalam.

Menurut Butet, di Bukit 12 ia dapat merasakan kedamaian yang tak ia temui di daerah lainnya. Oleh karena itu dia sangat mencintai alam dan kebudayaan aslinya.
“Alamnya indah, orang-orangnya pun sangat polos,” ujar lulusan jurusan Bahasa Indonesia dan Antropologi Universitas Padjadjaran.

“Jalan-jalan” Butet ke Kawasan Taman Nasional ini, bermula ketika tahun 1998. Kala itu terkesan akan pola hidup Orang Rimba, sebutan Suku Anak Dalam yang harmonis. Tak pelak, ia ingin menetap dan menjadi bagian dari mereka.

“Pola pikir mereka sangatlah sederhana, namun memiliki arti yang penting untuk alamnya,” tambah Butet.

Di awal kedatangannya, Butet sempat dikucilkan dan diusir dari Bukit 12. Oleh karena niat yang tulus dan tak patah asa, akhirnya Butet dapat diterima dengan baik oleh Orang Rimba.

“Awalnya justru ngeri. Aku bahkan pernah ingin disantet oleh mereka,” cerita Butet sambil tertawa.

Setelah berapa lama tinggal disana, Butet akhirnya mengenal cara hidup mereka, mulai dari cara bersosialisasi, upacara adat, hingga mencari makan. Namun ada yang terasa kurang di kehidupan mereka ungkap Butet yakni pendidikan.

“Saya miris sekali ketika mereka tidak bisa menulis dan membaca. Tanpa pendidikan, mereka dapat dibodohi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab,” ujarnya.

Dengan semangat melawan “keterbatasan”, ia akhirnya mendirikan sekolah yang ia namakan Sokola Rimba (sekolah rimba, dalam bahasa Jambi). Awalnya, niat ini sempat ditolak oleh tetua adat Orang Rimba. Mereka berpikir kalau anak-anak bersekolah, hal itu akan menghabiskan waktu saja.

Tanpa kenal putus asa, Butet secara diam-diam mengajak anak Orang Rimba belajar baca tulis. Dari dua orang hingga belasan anak ia ajar. Dengan gigih dan sabar Butet mengajari anak-anak tersebut. Mulai dari mengeja huruf hingga berhitung.
“Orang Rimba harus pintar,” kata Butet bersemangat.

Melihat keinginan kerasnya "mendidik" anak Orang Rimba, tetua adat akhirnya setuju dengan niat Butet. Mereka mengijinkan Butet untuk mengajar baca tulis kepada anak-anaknya. Dari sinilah Butet terinsipirasi untuk membuat sebuah buku yang ia namai Sokola. Diharapkan dengan adanya buku ini pemerintah dan masyarakat sadar akan pentingnya sebuah kebudayaan.

“Kebudayaan itu identitas bangsa. Bukan Indonesia jika tak ada kebudayaan,” terang perempuan yang mendapat gelar Man and Biosfer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan.

Herman Lantang: “Banyak ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa sekarang!”

Senin pagi, tanggal 10 Januari 1966. Ratusan mahasiswa yang menamakan diri Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI) melakukan demonstrasi besar di depan kampus UI Salemba. Aksi mereka dilatarbelakangi adanya kebijakan Soekarno yang dirasa gagal dalam memecahkan masalah ekonomi, sosial, dan politik ketika itu. Tuntutan mereka diteriakan dengan keras dan jelas.

Isinya mengenai penurunan harga, perombakan kabinet, dan pembubaran PKI. Mereka menyebutnya dengan TRITURA, atau tiga tuntutan rakyat. Sebuah respon mahasiswa akan makin melambungnya harga-harga, ketidakberesan kabinet yang diduga korupsi, hingga keterlibatan PKI dalam penentuan arah kebijakan politik dan ekonomi Soekarno.

Dialah Herman Onesimus Lantang. Salah satu dalang demonstrasi yang juga sebagai Ketua Senat mahasiswa UI kala itu. Saya sempat mengobrol dengan Herman O. Lantang di rumahnya yang rindang, dipinggir Jakarta. Tepatnya Minggu sore (26/10), di Jl. Joe no 13, Jagakarsa. Bertanya tentang pergerakannya di tahun 1966, Soe Hok Gie, dan semangatnya yang tidak luntur walaupun usianya kini mencapai 68 tahun.

Berikut petikannya:

Bang Herman, bisa cerita sedikit mengenai keadaan sosial, politik, dan ekonomi di era kepemimpinan Soekarno tahun 1966?

Loe harus tahu Diemas. Ketika itu keadaan Indonesia terlalu terpuruk. Jauh dari keadaan sejahtera atau yang loe rasain kayak sekarang. Coba loe pikir, saking ga ada beras dan selagi ada, harganya mahal, masyarakat harus makan bulgur biar ga mati. Loe tau bulgur?

Sejenis makanan buat ayam bukan, Bang?

Ya. Rasanya udah kayak singkong basi. Gue aja udah males nginget, apalagi makan…hahahaha…

Kalau kondisi sosial politiknya sendiri seperti apa Bang?

Soekarno ketika itu punya gerakan politik dan ekonomi (Gerlpolek) yang dijalankan untuk mengatasi krisis. Tapi karena Menteri-Mentrinya pada begok dan korupsi, Gerpolek tidak berjalan. Coba loe tanya Yopi Lasso. Rasanya dia paham betul dengan hal ini. Maklum, yang lain udah pada “lewat” (meninggal) termasuk Gie (Soe Hok Gie).

Lantas Apa sikap dan tindakan yang diambil Abang dan mahasiswa lainnya melihat kondisi seperti itu?

Jumat tanggal 7 Januari 1966, Gie mengumpulkan kita semua (Mahasiswa Fakultas Sastra Indonesia) di Kampus Salemba. Tepatnya di ruang senat mahasiswa sastra. Secara spontan Gie mengajak mahasiswa Sastra UI untuk menyuarakan dan mengkritisi hal ini. Dia juga ngajak gue yang ketika itu sebagai ketua senat mahasiswa dan punya banyak massa. Tanggal 10 januari 1966 kita turun ke jalan. Dari sinilah demonstrasi demi demonstrasi terus didengungkan mahasiswa dan rakyat demi menuntut kesejahteraan. Dan ini hari yang penting bagi perubahan keadaan ketika itu.

Apakah kondisi tadi menjadi alasan mahasiswa berdemonstrasi dan mengumumkan TRITURA?

Kita merasa Soekarno telah gagal menjalankan kebijakan-kebijakannya sebagai seorang pemimpin. Belum lagi adanya pengaruh besar dari PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam pemerintahan. Sebab itu kita berdemonstrasi untuk mengumumkan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat).

Mayjen dr. Syarief Thayeb yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan ditengarai berada dibalik Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI). Apakah ada maksud “tertentu” dari ABRI? Kudeta terhadap pemerintahan Soekarno, begitu?

Syarief Thayeb memang sempat mengumpulkan banyak organisasi mahasiswa ketika itu. Ada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI), dan banyak lagi. Ketika itu gue berada di Dewan Mahasiswa UI (DMUI) dan memutuskan untuk tidak bergabung! Bukan karena kita arogan atau apa, melainkan kita punya ideologi sendiri dan malas dimanfaatkan pihak-pihak yang punya kepentingan disana (ABRI). Gie, Aristides (Kattopo), Idhan Lubis, dan teman-teman lainnya juga kurang setuju jika kita bergabung di KAMMI.

Memang seperti apa hubungan antara Soekarno, ABRI, dan PKI ketika itu?

Gue gak tau jelas soal kemelut antara ABRI dan PKI saat itu. Yang gue inget hanya mereka (ABRI dan PKI) mencoba merebut hati Soekarno untuk berada dijajaran pemerintahan. Sayang, Gie udah ga ada. Dia hafal banget mengenai permasalahan ini. Coba loe baca bukunya, Diemas. Syukur-syukur ada.

Lantas bagaimana sikap Soekarno melihat aksi mahasiswa, Menteri kabinetnya, PKI dan ABRI?

Gue rasa Soekarno bingung dengan tuntutan demi tuntutan yang dilayangkan mahasiswa dan rakyat ketika itu. Ditambah lagi adanya “kemelut” antara ABRI dan PKI. Soebandrio saja kalang kabut dan mencak-mencak ketika aksi gue dan teman-teman tambah besar.

Apakah Soekarno atau PKI melancarkan intervensi dan intimidasi terhadap gerakan mahasiswa? Apa saja?

Kok loe tau sih? Hahahaha (Bang Herman tertawa). Gue sering pukul-pukulan dengan aparat waktu demonstrasi. Belum lagi surat kaleng yang ditimpuk selagi rapat di kampus. Tapi dasar orangnya keras, kita maju terus. Buat kita, kepentingan rakyat lebih penting ketimbang ancaman-ancaman macam itu. Loe pasti udah nonton film Gie. Disana ada adegan dimana rumah Gie dilemparin batu dan surat kaleng.

Bagaimana dengan sikap Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang di backup PKI melihat teman-temannya menuntut penggulingan Soekarno dan pembubaran PKI?

Jangan ditanya Diemas. Sudah pasti kita juga sering bentrok dengan CGMI. Mereka merasa kebijakan-kebijakan PKI-lah yang relevan ketika itu. Padahal kita tahu, PKI berada dibalik Soekarno dalam menetukan kebijakan. Dan semua kebijakan itu bisanya hanya menyengsarakan rakyat. Gak mikir soal kepentingan rakyat. Salah besar kalau kebijakan itu dirasa benar.

Nyesel Gak Bang kejatuhan Soekarno malah memunculkan figur pemimpin yang lebih diktator kayak Soeharto?

Yopi Lasso sempat bilang ke gue kayak gini, “Edan man, tau gitu gak akan kita turunin deh Soekarno.” Gue langsung jawab, “Kita udah berusaha semaksimal mungkin, yop. Dan yang amat disayangkan lagi, sewaktu kita tahu Soeharto bobrok, kita tidak dekat dengan Jakarta. Gue di Irian (Papua), Gie di Amerika, dan yang lain gak tau kemana. Hilang kontak. Tau gitu jangan dia deh.” Loe tau kan maksud gue?

“Tahu Bang,” Jawab Saya sambil tersenyum. Oiya Bang, Selain ABRI ada juga mahasiswa yang “memanfaatkan” kondisi ketika itu. Ditengarai Akbar Tanjung, Sofwan Wanandi, dll ikut bertanggung jawab atas naiknya Soeharto. Bagaimana menurut Bang Herman?

Wah, pertanyaannya berat juga. Hahahahaha… Gue cuma bisa bilang gini Diemas. Di setiap pergerakan yang bertujuan perubahan, gak bisa dipungkiri terdapat pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan ingin memanfaatkannya. Contohnya kita. Kepentingan kita berada di pihak masyarakat banyak yang menginginkan harga sembako murah, akses pendidikan yang mudah, dan keamanan. Sedangkan orang-orang semacam itu bisa dilihat kepentingannya berada dimana? Gie sendiri sudah kasak-kusuk dan gerah melihat hal ini.

“Halus tapi menohok Bang,” jawab saya. Lantas apakah ada konspirasi dan janji politik di dalamnya? Mengingat Akbar dan Sofyan hidup enak di era Soeharto?

Loe bisa lihat sendiri kan sekarang keadaannya gimana? Dan udah jadi tugas loe kalau mereka “macam-macam”.

Tidak tertarik berpolitik seperti mereka Bang?

Gue kurang suka dan sesuai dengan kehidupan politik. Terlalu membual. Sementara ada banyak hal yang harus dipecahkan tidak lewat kebongongan dan lobi-lobi ga mutu, melainkan dengan kejujuran dan hati nurani. Rasanya gue gak bisa masuk dalam dunia kayak gitu, Diemas. Mungkin kehidupan seperti inilah (dekat dengan alam) yang membuat gue nyaman dan tenang.

Oiya, kita udah panjang lebar bicara soal keadaan ’66. Tapi sedari tadi Bang Herman belum cerita bagaiamana menjadi seorang ketua senat UI. Bisa cerita sedikit Bang?

Gue kepilih jadi ketua senat di akhir tahun 1964. Ketika itu memang anak-anak ngeliat gue orang yang keras dan kesannya main pukul. Sempat sewaktu rapat gue pukul meja untuk menenangkan. Tapi dari sana mereka sadar bahwa dengan omongan gu itu ternyata bisa menyadarkan dan buat nangis mereka ketika tahu maksud dan artinya. Sama halnya ketika gue jadi panitia di Mapram (Ospek) dan Mapala UI. Abis gue omelin, eh mereka malah nangis terharu. Sama satu rahasia lagi Diemas. Jangan punya cewek (pacar) ketika loe jadi ketua. Biar loe bisa disukain banyak cewek karena wibawa loe. Hehehehe…

Banyak pacar dong Bang sewaktu jadi mahasiswa?

Pacar sih gak ada, tapi yang suka sama gue banyak. Hehehehe…

Bisa aja nih Abang, huaahahaha. Melihat kondisi mahasiswa saat ini, apa kesan dan penilaian Bang Herman?

Banyak ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa sekarang ketika mereka teriak-teriak di depan MPR atau Istana Negara. Mereka membela rakyat memang, tapi dibelakangnya terdapat kepentingan banyak pihak yang mem-backing-nya. Sama satu lagi, dulu kita bergerak atas dasar hati nurani dan spontanitas. Beda ketika melihat mahasiswa sekarang berdemo. Mereka kebanyakan bergerak karena ada dorongan dari orang-orang yang gak bertanggung jawab. Jujur, gue sedih dengan keadaan seperti ini.

Budiman Sudjatmiko, Mahasiswa yang paling diincar di tahun 1998 (era Soeharto) sekarang berada di kubu Megawati. Apa penilaian Abang?

Mereka itu sama halnya dengan orang-orang yang mencoba memanfaatkan keadaan saat gue dulu berjuang di tahun ’66. Gue, Gie, Aristides, Idhan, Yopi, dll tentunya akan merasa sedih ketika mendapati di jaman sekarang masih ada aja orang macam itu. Jangan sampai seperti itu Diemas. Bilang teman-teman loe!

Lalu apa pesan Bang Herman untuk mahasiswa sekarang?

Ketika loe melihat ketidakjujuran sudah mulai berjangkit dimana-mana. Sudah selayaknya anak muda untuk bergerak. Tapi satu catatan yang harus diingat. Pakai hati nurani. Kembangkan gerakan loe atas dasar cinta, komitmen, dan konsistensi untuk merubahnya menjadi lebih baik. Jangan lupa juga untuk menjaga alamnya. Percuma sistem berhasil tapi kondisi lingkungannya parah. Gue harap manusia muda Indonesia bisa membawa bangsa ke keadaan yang lebih sejahtera dan beradab.