Sabtu, 20 November 2010

25 Tahun Aldo dan "Pelarian"

Ada sebuah pembicaraan antara Aku dan Aldo diakhir September 2010. Isinya tentang rencana perayaan ulang tahun Aldo ke-25 pada 5 November lalu. Aku mengusulkan acara dirayakan di Gunung Gede. Gunung Gede sendiri memiliki ketinggian 2958 Mdpl. Ia terletak di Taman Nasional Gede-Pangrango, Sukabumi. Aldo setuju dengan usulku. Kawan-kawan dari Jurnal seperti Bayu (Nae Pinggang), Ipul (Bot**), Dodo, Afwan (Waka), dan Hendy (Pencot) menyatakan ikut. Aku juga mengajak Mas Latief, kenalanku.

Pendakian kali itu melalui jalur Cibodas, Cianjur. Hal ini aku putuskan karena ada beberapa teman yang selama ini belum pernah mendaki. Jalur Cibodas memang dikenal lebih landai ketimbang jalur Gunung Putri. Ia merupakan salah satu jalur pendakian ke Gunung Gede dan Pangrango.


BERGAYA. Nae, Aldo, dan Afwan berpose di Pos Pemeriksaan, TNGP, Cibodas. 20 menit dari sini Nae mulai mengeluhkan pinggangnya yang sakit.


***

Kami mulai pendakian pukul 11.00. Jujur saja aku agak gugup pada awalnya. Mungkin karena sudah 1 tahun lebih tidak mendaki gunung dan kondisi badan sedang tidak enak. Ditambah lagi berbagai masalah yang sedang aku hadapi. Biarlah, aku pikir ini konsekuensi ketika seorang manusia sedang mengenali kehidupan. Aku pun memilih "kembali ke alam" ketimbang "pelarian" lainnya.

Butuh waktu sekitar 1 jam untuk mencapai Pos 1, Telaga Biru (1575 Mdpl). Aku meminta Afwan yang ketika itu berada di depan barisan untuk beristirahat sejenak. Pasalnya anak-anak juga sudah terlihat lelah.

"Lo cuci muka dulu, lah. Tapi jangan diminum airnya!"

"Itu, telaga biru ada di sebelah kanan."

"Kok telaganya ndak biru, cak?" Mas Latief menyahut.

"Walah, aku juga ndak tahu persis, Mas."

"Kalau sudah selesai, ayo kita jalan lagi."

"Gak jauh dari sini ada jembatan dan Pos 2. Kita istirahat disana," tambahku.

Kami tidak lama beristirahat di Pos 1. Pikirku tidak jauh dari sana ada sebuah jembatan panjang yang bisa dijadikan tempat istirahat dan memiliki panorama yang lebih indah dibanding Telaga Biru. Dulu sebelum ada jembatan, keadaan tanah antara Pos 1 dan 2 sangat becek. Mengingat jalur itu merupakan aliran air dan rawa.

Kami sempat berjumpa dengan teman-teman dari organisasi penggiat alam asal Jakarta di Pos 2, Panyangcangan Kuda. Aku sempat berbincang dengan ketuanya. Dalam pembicaraannya, ia mengatakan sedang menunggu teman-temannya yang sedang dalam perjalanan turun dari Puncak Gunung Pangrango. Ia tidak melanjutkan perjalanan mengingat akan menyematkan syal organisasinya di Air Terjun Cibereum.

Setelah berbincang aku dan Aldo memutuskan untuk membakar 1 batang rokok sekaligus mencicipi makanan ringan yang Mas Latief bawa. Sementara Pencot, Nae, Ipul, dan Afwan memilih untuk melihat air terjun Cibeureum yang tidak jauh dari Pos 2.

3 SERANGKAI.
Ipul, Nae, dan Afwan berpose dengan latar air terjun Cibeureum.

Ada kejadian lucu ketika kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Ipul yang selama ini cenderung pendiam dan terlihat "dewasa" tiba-tiba cengos dan mengambil sebuah kacamata hitam yang berada di samping carrierku. Pikirnya itu kacamata yang Pencot bawa untuk sekedar bergaya di puncak. Belum sempat memakai, wajah Ipul memerah taatkala empunya kacamata menegur Ipul.

"Bang.. Bang... Itu kacamata saya!"

"Oh... Maaf, saya pikir ini punya teman saya," jawab Ipul.

Kami pun tertawa terbahak-bahak melihat kejadian itu. Dengan muka merah Ipul menaruh kacamata tersebut dan mengajak aku dan teman-teman untuk segera meninggalkan Pos 2. Dia malu betul sepertinya.

Kami memutuskan perjalanan. Aku sadar betul bahwa jalur Pos 2 ke Pos 3 cukup melelahkan. Aku meminta Nae, yang terlihat sering kelelahan untuk berada di barisan depan. Dalam pengalamanku setiap melakukan pendakian, posisi ikut mempengaruhi psikologis (semangat) pendaki.

"Lo ke depan aja, Nae. Lo yang pimpin kita sekarang."

"Jalurnya kelihatan kok. Jadi lo gak perlu takut," cetusku.

Betul saja, setelah Nae berada di depan irama langkah kami lebih stabil. Namun sesekali aku minta berhenti untuk menarik nafas panjang dan merebahkan carrier yang aku bawa. Ketika itu punggung dan bahu ini terasa pegal sekali. Jujur saja perjalanan menuju Pos 3 sangat meguras tenaga dan mentalku.

Pos 3 sendiri dikenal dengan nama Hot Spring. Aku rasa 100 meter menuju Pos 3 merupakan titik paling bahaya dari Jalur Cibodas. Pasalnya pendaki akan melalui tebing dengan aliran air panas. Jika tidak berhati-hati ia bisa saja tewas terjatuh karena di sisi kanan jalur terdapat jurang sedalam ratusan meter. Demi keamanan disisinya dipasangi tambang besi sebagai pegangan. Sebelum masuk ke Pos 3 aku memutuskan agar kami beristirahat.

Aku sempat bercerita bahwa kecelakaan yang sering terjadi di Gunung Gede, terdapat pada jalur ini. Aku meminta teman-teman untuk berhati-hati. Terutama Nae dan Ipul yang baru pertama mendaki gunung.

Sekitar 10 menit kami berkutat dengan dinding licin ditambah panasnya air yang mengandung belerang. Rasa lega pun dirasa seketika kami mencapai sebuah bangunan batu berdiri tegak di ujung jalur. Aku mengajak diskusi teman-teman dan Mas Latief yang pikirku bisa memberikan pertimbangan matang tentang keadaan kami. Aku mengusulkan agar perjalanan ditunda hingga esok pagi. Mengingat stamina dan cuaca yang ketika itu hujan tidak memungkinkan kami untuk melanjutkan perjalanan.

Kami pun setuju untuk bermalam di pos 3. (Bersambung).

Senin, 01 November 2010

Tsar dan Evita Veron


Hari ini (1/11) adik terakhirku, Nico berulang tahun. Sekarang umurnya menginjak 8 tahun. Aku bangga memiliki adik seperti dia dan Dirga. Mereka anak yang cerdas dan berani.

Nico lahir pada 1 November 2002, silam. Ketika Nico lahir, bapak sedang berada dalam perjalanan pulang dari Solo ke Jakarta. Sementara itu, ibu hanya ditemani temannya di rumah bersalin.

Awalnya, aku agak sedikit malu dan canggung ketika ibu mengabari kalau dirinya hamil. Pasalnya aku akan memiliki adik yang umurnya terpaut jauh 15 tahun. Namun, rasa itu menghilang ketika aku melihat tubuh mungil Nico lahir. Ia lucu, menggemaskan, dan tampan. Bapak sendiri sangat senang dan lega seketika mengetahui anak ke-3 nya lahir.

Aku sempat menanyakan nama yang akan diberikan pada bayi mungil itu kepada ibu. Beliau lantas menjawab, Nicolas Duarte.

Aku sempat terkaget mendengar nama yang dipilih ibu. Mungkin nama itu sangat awam bagi telinga orang Indonesia, termasuk aku. Beliau kemudian menjelaskan alasan ia memilih nama tersebut.

"Nicolas itu aku ambil dari dari Nicholas Tsar II. Sementara Duarte itu nama asli Evita Veron, yakni Evita Duarte," jelas ibu.

Blarrr...

Aku sangat kaget mendengar penjelasan ibu. Beliau memang memiliki pengetahuan yang luas karena sering membaca banyak buku. Namun tidak menyangka bahwa akan menamai anaknya dari penggalan nama pemimpin-pemimpin dunia terkenal, Nicholas Tsar II (Rusia) dan Evita "Duarte" Veron (Argentina).

Di dalam doaku, aku selalu berharap agar Allah menjadikan Nico anak yang baik, berani, cerdas, dan mampu membanggakan orangtua. Aku teringat pesan ibu sewaktu kami mengadakan "refleksi" pada malam takbiran kemarin.

Beliau berpesan bahwa dirinya lebih bangga memiliki anak yang memiliki keteladan macam Alm. Munir. Seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang memiliki keberanian, kejujuran, dan mampu membantu orang-orang yang tertindas.

"Manusia itu hidup harus saling membantu. Jangan pernah menyerah walaupun keadaannya tidak memungkinkan," terang ibu.