Kamis, 19 Maret 2009

Hilang

"... Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan. Disana bersemayam kemerdekaan. Apabila engkau memaksa diam, aku siapkan untukmu: pemberontakan!".

"Thukul hilang dalam perjuangan. Saya bangga bisa menjadi bagian dari hidupnya."

Air mata Mbok Sipon sesekali menetes. Selendang merah jambu yang ia sematkan dileher, diusapnya ke wajah. Jauh di kesadarannya,
pemilik nama asli Dyah Sujirah cukup puas. Wiji Thukul telah mampu menjadi contoh yang baik dan berani. Bukan hanya untuk Fitri Nganti dan Fajar Merah anaknya, tetapi juga bangsa yang sedang sekarat.

"Aku terakhir ketemu mas Thukul di Jogja. Waktu itu kami ajak Fajar dan Wani jalan-jalan ke Kebun Binatang Gembiraloka. Setelahnya aku tidak bertemu lagi. Kabar terakhir ia sempat terlihat di Depok, " ujar Sipon.

12 Mei 2007. Sebuah spanduk pengumuman berukuran 1x4 meter terpampang di depan Kampus Fisip, Unpad, Jatinangor. Kali ini teman-teman Komunitas Jumat Malam punya hajat kecil tapi berarti. Dengan tema "Merekam Ketidakadilan melalui Seni", aku sempat mengingat kembali sosok Wiji Thukul. Seorang guru yang kini tinggal di Amerika Serikat sempat menceritakan tentang perjuangan Thukul sewaktu aku di SMA.

"Puisinya sangat berani dan keras. Tak heran jika penguasa menghilangkannya."

Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 di Sorogenen, Solo, Jawa Tengah. Semasa kasatnya, ia dikenal sebagai penyair, aktivis, dan seniman Kelompok Teater Jagat Aktivis. Dia juga sering terlihat dalam aksi-aksi yang dilakukan bersama Partai Rakyat Demokratik pimpinan Budiman Sudjatmiko. Ada waktu dimana Thukul membacakan puisi dalam sebuah aksi untuk buruh.

Sontak aksi ini menimbulkan reaksi keras dari pemerintah. Soeharto berasa kebakaran jenggot. Tak pelak PRD dan sejumlah organisasi macam Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jangker), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan lainnya ikut masuk dalam daftar terlarang. Tepatnya 28 Desember 1997, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan waktu itu, Soesilo Soedarman menginstruksikan penangkapan. (Kompas, 12 Desember 2002).

***

Teater Cassanova. Siang itu mereka tampil membacakan puisi karya Thukul yang sangat fenomenal. Dengan gaya teaterikal yang apik, Cassanova mengajak pengunjung untuk terhanyut dalam perjuangan Thukul.

Aku bukan artis pembuat berita. Tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa. (Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa)

Suatu saat kami akan tumbuh bersama. Dengan keyakinan: engkau harus hancur! Dalam keyakinan kami. Di manapun – tirani harus tumbang!
(Bunga dan Tembok)

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan! (Peringatan)


Aku terenyuh ketika mendengar puisi berjudul Peringatan dibacakan. Buatku puisi ini sangat menggambarkan situasi dan kegundahan hati Thukul kala itu. Di akhir acara Mbok Sipon mengutarakan harapan besar mengenai keberadaan Thukul, suaminya. Walaupun kecil kemungkinan "sang Peluru" kembali hadir dalam kehangatan keluarga.

"Mudah-mudahan Mas Thukul tidak lagi menemuiku hanya lewat mimpi. Melainkan bisa pulang dan bercanda lagi di rumah bersama anak-anak."

Senin, 16 Maret 2009

Sahabat Setia Anak Rimba


Delapan tahun sudah perempuan ini “bercengkrama” di tengah rimba Bukit 12, Jambi. Dengan fasilitas dan sarana yang minim, ia pun berikar: “aku ingin Orang Rimba pintar”.

*

Saur Marlina Manurung lahir di Jakarta pada 21 Februari 1972. Ia merupakan anak sulung dari 5 bersaudara. Di keluarga, Butet, panggilan akrab Saur memang agak berbeda dibandingkan saudara-saudaranya. Hal ini terlihat jelas pada hobinya yang tak lazim bagi kaum hawa, mountaineering (naik gunung).

Kecintaan Butet pada kegiatan yang penuh adrenalin ini, bermula ketika ia menjadi anggota mahasiswa pecinta alam di Univesitas Padjadjaran, Palawa. Dari sinilah ia sering “jalan-jalan” dan akhirnya menetap selama delapan tahun di Bukit 12, Provinsi Jambi. Bukit 12 sendiri merupakan Taman Nasional yang terdapat di daerah Jambi. Di bukit ini terdapat suku asli Jambi, Suku Anak Dalam.

Menurut Butet, di Bukit 12 ia dapat merasakan kedamaian yang tak ia temui di daerah lainnya. Oleh karena itu dia sangat mencintai alam dan kebudayaan aslinya.

“Alamnya indah, orang-orangnya pun sangat polos,” ujar lulusan jurusan Bahasa Indonesia dan Antropologi Universitas Padjadjaran.

“Jalan-jalan” Butet ke Kawasan Taman Nasional ini, bermula ketika tahun 1998. Kala itu terkesan akan pola hidup Orang Rimba, sebutan Suku Anak Dalam yang harmonis. Tak pelak, ia ingin menetap dan menjadi bagian dari mereka. 

Di awal kedatangannya, Butet sempat dikucilkan dan diusir dari Bukit 12. Oleh karena niat yang tulus dan tak patah asa, akhirnya Butet dapat diterima dengan baik oleh Orang Rimba.

“Awalnya justru ngeri. Aku bahkan pernah ingin disantet oleh mereka,” cerita Butet sambil tertawa.

Setelah berapa lama tinggal disana, Butet akhirnya mengenal cara hidup mereka, mulai dari cara bersosialisasi, upacara adat, hingga mencari makan. Namun ada yang terasa kurang di kehidupan mereka ungkap Butet yakni pendidikan.

“Saya miris sekali ketika mereka tidak bisa menulis dan membaca. Tanpa pendidikan, mereka dapat dibodohi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab,” ujarnya.

Dengan semangat melawan “keterbatasan”, ia akhirnya mendirikan sekolah yang ia namakan Sokola Rimba (sekolah rimba, dalam bahasa Jambi). Awalnya, niat ini sempat ditolak oleh tetua adat Orang Rimba. Mereka berpikir kalau anak-anak bersekolah, hal itu akan menghabiskan waktu saja.

Tanpa kenal putus asa, Butet secara diam-diam mengajak anak Orang Rimba belajar baca tulis. Dari dua orang hingga belasan anak ia ajar. Dengan gigih dan sabar Butet mengajari anak-anak tersebut. Mulai dari mengeja huruf hingga berhitung.

“Orang Rimba harus pintar,” kata Butet bersemangat.

Melihat keinginan kerasnya mengajari anak Orang Rimba, tetua adat akhirnya setuju dengan niat Butet. Mereka mengijinkan Butet untuk mengajar baca tulis kepada anak-anaknya. Dari sinilah Butet terinsipirasi untuk membuat sebuah buku yang ia namai Sokola. Diharapkan dengan adanya buku ini pemerintah dan masyarakat sadar akan pentingnya sebuah kebudayaan.

“Kebudayaan itu identitas bangsa. Bukan Indonesia jika tak ada kebudayaan,” terang perempuan yang mendapat gelar Man and Biosfer yang diberikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sabtu, 14 Maret 2009

Asvi Warman Adam: “Sejarah itu Juga Harus Ditulis dalam Perspektif Korban”

Sabtu lalu (14/11) Hotel Crowne Plaza, Jakarta punya tiga acara penting. Penyerahan Nabil Award 2008, peluncuran dan bedah buku karya DR. Mary Somers Heidhues, dan The Best Executive Award 2008. Tak lama duduk di sofa empuk lantai tiganya, seorang lelaki memanggil dari dekat pintu balroom. “Sudah lama menunggu ya? Maaf, baru bisa keluar sekarang,” ujar lelaki yang siang itu terlihat elegan menggunakan batik merah dengan hiasan bunga di dada kirinya.

Dialah Asvi Warman Adam. Banyak orang mengenal Asvi Warman Adam sebagai seorang sejarawan yang aktif menulis tentang Soekarno, Gerakan 30 September, hingga Tan Malaka. Tak jarang pula karena tulisannya, Asvi mendapat banyak sms dan telepon bernada ancaman. Bahkan di tahun 2007, kantor kerja Asvi di LIPI didatangi ratusan orang menggunakan sekitar 10 metromini. Mereka berteriak-teriak menggugat Asvi. Intinya tak sepaham dengan tulisan Doktor dari des Hautes Etudes en Science Sociales Paris, Perancis di media massa.

Ada apa dengan tulisan Asvi mengenai Soekarno, Gerakan 30 September 1965, hingga Tan Malaka? Apakah hal ini yang menyebabkan ia dianggap sejarawan “kiri”?

Disela-sela peluncuran dan bedah buku karya DR. Mary Somers Heidhues, Asvi Warman Adam memaparkan mulai dari alasan tulisannya, perkara Soeharto, hingga pada usahanya dalam pelurusan sejarah yang selama ini di”bengkok"kan kepada Diemas Kresna Duta, Mahasiswa Jurnalistik, Fikom, Unpad. Berikut kutipannya:

Pak Asvi, bisa cerita sedikit mengenai awal ketertarikan Anda dalam mengupas sejarah Indonesia?
Tahun 1984 saya berangkat ke Perancis. Selama 6 tahun saya belajar mengenai hubungan Indonesia dengan Vietnam. Ide ini berawal dari saran professor saya yang mengatakan belum ada orang Indonesia yang ahli akan hal itu. Saya pun menjadikan ide ini sebuah disertasi. Setelah kembali ke Indonesia, saya mulai menulis mengenai sejarah hubungan Indonesia dengan Vietnam, Kamboja, dll. Dari sinilah titik awal saya mulai mengupas mengenai sejarah Indonesia.

Anda dikenal luas sebagai sejarawan yang sering mengupas tetang Soekarno, Gerakan 30 September, dan Tan Malaka. Kapan Anda memulainya?

Pada tahun 1998 setelah lengsernya Soeharto, saya mulai giat menulis mengenai gerakan tahun 1965. Ketika itu mulai banyak buku baru yang mengupas mengenai Gerakan 30 September 1965. Pada tahun yang sama, saya tergabung dalam Masyarakat Sejarawan Indonesia dan diangkat menjadi ketua bidang pendidikannya. Mulai dari sini saya banyak diundang untuk memberikan ceramah dan menulis mengenai gerakan 30 September.

Bagaimana sikap Anda ketika melihat korban Gerakan 30 September 1965?

Mereka membuat saya bersimpati dan terkesan. Terlebih ketika korban yang notabane-nya sudah tua datang menghadiri acara itu dengan berpakaian lusuh. Hati saya terenyuh ketika dengan bersemangat mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ditambah lagi ketika usai berceramah mereka memberikan saya uang recehan yang totalnya sekitar Rp 20.000, 00. Bukan nominal yang saya pentingkan, melainkan rasa terima kasih mereka yang membuat saya berpikir bahwa menulis sejarah Gerakan 30 September juga harus dilihat dari perspektif korban. Mengingat selama ini sejarah ditulis oleh mereka yang menang dan berkuasa. Sementara orang yang dibawah dan menjadi korban tidak diperhatikan.

Banyak pihak yang men”cap” Anda sebagai komunis, bagaimana tanggapan Anda?

Oh, itu tidak benar. Saya berasal dari keluarga Muhammadiyah di Bukit Tinggi. Suatu daerah yang terkenal memiliki budaya islam yang kuat. Selain itu ada dari kakak saya yang terlibat dalam gerakan PRRI yang anti komunis. Jadi saya bukan dari keluarga komunis, melainkan dari pihak yang netral. Kalaupun mereka menilainya dari tulisan saya, itu merupakan pembelaan dan rasa simpati saya terhadap korban-korban Gerakan 30 September yang sudah lama menderita dan disakiti. Patut diingat, dalam tulisan saya juga tidak membenarkan gerakan yang dilakukan PKI.

Adakah intervensi dan intimidasi?

Jelas ada dan sudah terbiasa. Bahkan baru-baru ini saya kembali menerima banyak sms dan telpon yang bernada ancaman atau teror menyoal tulisan saya. Saya juga pernah didemo oleh sebagian masyarakat yang menyangka saya seorang komunis. Tepatnya ketika keluar keputusan Jaksa Agung yang melarang buku-buku tanpa menuliskan G30S PKI tahun 2007. Dengan menggunakan sekitar 10 metromini mereka mendatangi kantor LIPI dan berteriak bahwa darah saya halal karena mendukung komunis. Kebetulan saat itu saya sedang tidak berada di tempat. Saya baru mengetahui didemo ketika ada teman yang menelpon.

Dalam Novel “September” karya Noorca M . Massardi, Anda menyimpulkan nama Tosnio Hunu adalah A.H. Nasution dan Mahya Nida adalah Ahmad Yani. Lantas siapa Theo Rosa yang menurut novel ini merupakan dalang utama?

Satu hal yang menarik ketika menghubungkan sejarah Gerakan 30 September dengan karya sastra semacam Novel “September” karya Noorca M. Massardi. Sastra memang cenderung sebuah cerita yang fiksi, namun dalam “September” secara apik Noorca mengungkapkan data-data sejarah yang klop, dengan gaya penulisan tokoh yang terbalik, yang membuatnya fiksi. Dan orang akan menyimpulkan Theo Rosa adalah Soeharto. Tinggal membalikkannya saja. Hahaha…

Sejauh mana Soeharto mem”belok”kan fakta-fakta mengenai sejarah Gerakan 30 September?

Ada hal yang lucu ketika Noorca M. Massardi menerbitkan buku berjudul “Dia” beberapa bulan yang lalu. Kebetulan ketika itu hadir Moerdiono. Anak buah Soeharto yang sempat diangkat menjadi Mentri Sekertaris Negara (Mensesneg) era Orde Baru. Saya sempat menerangkan bahwa “Dia” dan “September” merupakan revisi versi Noorca M. Massardi atas buku “Putih” yang diterbitkan era Orba mengenai Gerakan 30 September. Tapi begitu saya turun dari panggung, Moerdiono langsung menyalami saya dan mengatakan, “Tapi versi saya yang lebih benar, loh..” hahaha.. Jelas, versi yang dianggap benar oleh Moerdiono itu keliru. Dan inilah salah satu bentuk pembelokkan fakta-fakta sejarah Gerakan 30 September oleh Soeharto. Belum lagi adanya pelarang beberapa buku seperti “Dibawah Bayang-Bayang PKI” yang diterbitkan ESAI tahun 1995. Perlu diketahui, saat Soeharto berkuasa semua orang dilarang berbeda pendapat dalam pemahaman sejarah. Kita harus seragam dalam mengetahui sejarah walaupun banyak pembelokkan atas kebenarannya. Era reformasi seperti sekarang sudah lebih baik. Sejarah sudah dapat disajikan dalam versi yang beragam.

Anda merupakan anggota Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Berat yang dilakukan Soeharto. Bagaimana kelanjutan kasus ini setelah Soeharto meninggal?

Amat disayangkan kasus pelanggaran HAM berat Soeharto tidak dilanjuti. Namun kita (Tim) sudah berkesimpulan bahwa Soeharto memiliki indikasi dalam pelanggaran HAM berat. Tapi hal ini masih dalam taraf pengkajian, belum pada tingkat penyelidikan dan penyidikan. Mengacu pada sidang pleno Komnas HAM, akhirnya kasus ini diputuskan untuk tidak dilanjuti lagi. Amat disayangkan memang.

Jadi, apakah wajar ketika beberapa pihak mengultuskan Soeharto sebagai Pahlawan atau Bapak Bangsa?

Saya pikir belum layak dan waktunya Soeharto dianggap sebagai Pahlawan atau Bapak Bangsa. Bagaimana bisa orang yang diindikasi melanggar HAM berat dan dituduh melakukan korupsi dianggap orang yang berjasa bagi negara. Kalaupun mau mengangkat Soeharto menjadi pahlawan, diperlukan dulu adanya penuntusan akan kasus-kasus yang menjeratnya. Jika tidak terbukti bersalah, bisa saja Soeharto diangkat menjadi pahlawan.

Cara-cara apa saja yang dilakukan Soeharto dalam mengambil alih kekuasaan Soekarno?

Ada strategi yang dijalankan Soeharto dalam mengambil alih kekuasaan Soekarno dan menjatuhkan nama Soekarno. Yang pertama menuduh Soekarno ikut membantu Gerakan 30 September dengan putusan Tap MPRS No. 33 Tahun 1967 dan kudeta merangkak yang hasilnya Soeharto menjadi Presiden. Selain itu, dalam buku-buku pelajaran sejarah Soeharto juga jarang menyinggung keterlibatan Soekarno dalam masanya. Ini merupakan strategi dengan konspirasi tingkat tinggi.

Tahun 2003, Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan sempat mengusulkan adanya rehabilitasi nama Soekarno ke Presiden. Menurut Anda, apa alasan Megawati yang urung menindak lanjuti usul ini?

Sangat disayangkan ketika Megawati yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI sekaligus putri sulung Bung Karno urung merehabilitasi nama Soekarno. Saya mendengar dari Bang Ali (Ali Sadikin) bahwa ketika ditanyakan hal ini, Mba Mega hanya diam malah Taufik Kemas yang menjawab. “Ya nanti, jika Megawati terpilih lagi.” Ketika itu memang sedang mendekati Pemilu. Tapi pada akhirnya belum ada rehabilitasi nama Soekarno mengingat Megawati tidak terpilih lagi jadi Presiden.

Apa solusi terbaik dalam meluruskan sejarah Indonesia?

Saya kira harus ada keleluasan dan kebebasan kepada masyarakat dalam menulis fakta-fakta sejarah. Jangan sampai sejarah itu hanya dalam satu versi saja, yakni dari pemerintah. Dan ini merupakan cara dalam mencerdaskan anak bangsa. Intinya dua, kejujuran dan kebenaran.
Lantas apa pesan kepada masyarakat luas sebagai pembelajaran untuk mereka?
Rasanya masyarakat sudah tidak bisa dibohongi lagi dengan fakta-fakta yang “bengkok”. Oleh karenanya diperlukan peran aktif masyarakat dalam meluruskan sejarah-sejarah yang ada. Bangsa Indonesia sarat dengan sejarah, namun sudah menjadi tugas kita untuk meluruskan yang sudah dibengkokkan.

Pemilu tahun 2009 sudah dekat, Pak Asvi tidak tertarik menjadi calon legislatif?

Oh, tidak-tidak. Ini saja sudah cukup. Hahahaha.

Ditulis oleh Diemas Kresna Duta

Kernmantel, Bom Rakitan, dan Tukang Soto

“Hey nak, jangan lupa pakai tali pengaman kalau ingin wall climbing!”

Rasanya pesan itu belum lama aku dengar dari bibir tipis Pater (Bapak dalam bahasa Jerman) Drost. Begitu lembut, begitu bersahaja.

**

Aku mengenal Pater Drost sejak pertengahan Juli 2002. Ketika itu namanya sering disebut guru bahasa dan sastraku sebagai salah satu tokoh idolanya.

“Beliau orang yang cerdas. Saya bangga bisa belajar dengan orang macam dia,” terang Ibu Purwanti disela-sela kelas sastra.


Ignatius Josephus Gerardus Drost lahir di Jakarta pada 1 Agustus 1925. Ia merupakan anak dari pasangan Henricus A. Johanes Drost dan Maria Louise Regina Eckmann.

Di tahun 1930-an, Drost kecil tinggal di Belanda. Ketika Jerman berhasil menguasai Belanda pada Perang Dunia II, ia kemudian pindah kuliah dan menjadi buruh pabrik di Jerman. Pater Drost juga sempat tinggal di Myanmar. Ketika itu ia melarikan diri dari kejaran tentara Jerman.

Untuk mengelabui tentara Jerman yang ketika itu mewajibkan anak mudanya menjadi tentara, Pater Drost menyamar sebagai seorang petani. Siasat ini berhasil. Baru setelah PD II usai, kira-kira pertengahan tahun 1945, ia kembali ke Belanda dan memutuskan menjadi Pastor di ordo Serikat Jesuit. Tepatnya di Novisiat Mariendaal, Grave, Belanda, tanggal 1 Februari 1946.

Dua tahun lamanya, Pater Drost menjalani masa Juniorat di Novisiat Mariendaal. Sampai akhirnya di tanggal 28 Oktober 1948 ia kembali negara tempat beliau lahir, Indonesia. Kecintaan Pater Drost terhadap Indonesia, mendorong kuat dirinya untuk menjadi Warga Negara Indonesia (nasionalisasi) di tahun 1951.

Sembilan tahun berselang, tepatnya tanggal 22 Agustus 1960 ia ditahbisan menjadi imamat oleh Mgr. Alb. Soegijapranata, S.J. di Yogyakarta. Ia pun menjalani Formatio Tersiat pada bulan September 1961-Juli 1962 di St. Andra, Austria. Semacam pendidikan lanjutan bagi Pastor Serikat Jesuit. Hingga pada 2 Februari 1963, beliau mengucapkan kaul akhir di Yogyakarta.

Selama di Indonesia, Pater Drost sempat belajar filsafat di Yogyakarta tahun 1949-1952, studi Ilmu Pasti dan Alam di ITB tahun 1952-1957, dan pendidikan teologi di Yogyakarta tahun 1957-1961. Tak pelak, beragam prestasi di dunia pendidikan Indonesia ia ukir. Salah satunya menjadi Rektor IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta di tahun 1967 hingga 1976.

Untuk seorang Pater Drost, gelar sebagai Rektor di perguruan tinggi tidak memberikannya suatu penghargaan yang berarti. Berbeda dengan kebanyakan orang yang diangkat menjadi Rektor, kemudian lupa diri.

“Saya lebih senang dikatakan sebagai pendidik, ketimbang gelar macam itu,” ujar Pater Drsot dengan senyum lembutnya, sewaktu mengobrol dengan aku dipelataran aula Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, Januari 2005.

Setelah melepaskan jabatan Rektor IKIP Sanata Dharma, Pater Drost diangkat menjadi Direktur SMA Kanisius Jakarta tahun 1977-1986. Di tempat inilah, ia kemudian memfokuskan konsentrasinya pada pendidikan sekolah menengah. Banyak tulisan dan buku telah Pater Drost hasilkan. Mulai dari kritik terhadap kebijakan Mentri Pendidikan Indonesia, “Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) hingga Kurikulum Bertujuan Kompetensi (KBK)”, Gramedia, 2005 sampai pada “Kesalahan Orang Tua Indonesia dalam Mendidik Anaknya, ia proyeksikan. Tujuannya satu, agar masyarakat Indonesia bisa berpikir logis dan “maju”.

***

Tahun 1987. Pastor bertubuh besar ini memiliki ide untuk membangun sekolah yang sama dengan Kanisius. Letaknya di daerah Jakarta selatan, dekat dengan kantor Surat Kabar Republika. Dulu, Gonzaga bernama Kolese Kanisius Cabang Selatan. Baru sekitar tahun 1988, kemudian berganti nama. Sebelumnya, jauh sebelum gonz dibangun, terdapat Seminari Wacana Bhakti. Sekolah ini bertujuan untuk mendidik anak-anak muda yang berkeinginan menjadi Pastor. Walaupun dalam prosesnya, kebanyakan dari mereka tidak tahan dan akhirnya jebling, keluar.

Di Kolese Gonzaga, Pater Drost ingin mewujudkan mimpinya. Impiannya sederhana, mencetak generasi-genarasi muda yang nantinya dapat memimpin bangsa. Kurikulum dan beberapa kebijakan, ia rancang. Mulai dari keharusan keluar, dropout jika tidak naik kelas hingga rambut gondrong, ia tetapkan. Dapat dipastikan, hal ini jarang ada di sekolah manapun. Sebab itu, sosok Pater Drost terlalu membekas di murid-muridnya.

“Saya senang masih bisa bertemu anak muda macam kalian. Punya semangat dan keberanian untuk terus belajar, bukan hanya pelajaran melainkan juga hidup,” ujar Bounty menirukan perkataan Pater Drost.

Dexter Bounty. Boleh dibilang ia sang maestronya Gonzaga. Lelaki yang memiliki tato bertuliskan “Old Fashioned Lover Boy”, judul lagu band asal Inggris, Queen, dilengan kirinya ini masuk Kolese Gonzaga tahun 1987. Sebelumnya, Bounty sempat belajar di Kolese Kanisius. Karena kasus penghancuran fasilitas sekolah dengan bom rakitan, ia dropout.

“Jujur, gua ngerasa berhutang budi banget sama Pater Drost. Dengan tingkah laku gua kayak gini, beliau bisa terima gua lagi sebagai muridnya,” cetusnya.

Sabtu, 19 Februari 2005. Pukul 15.40.

Sore itu, aku, Erick dan Dion nongkrong di kios rokok “Phil”. Letaknya di depan sekolah, menjorok ke kanan. Kios ini berdiri sejak tahun 1990. Anak-anak selalu kongkow disini, sembari menunggu bel pagi masuk.

aku dan Cupluk, panggilan akrab Dion membeli rokok merek Djarum Super setengah bungkus, sedang Erick tak mau kalah. Ia beli sebungkus. Sekalian buat malam katanya.

Ketika itu, Erick bercerita tentang perempuan yang ditaksirnya. Mulai dari rencana kenalan hingga ngapel, ia strategikan. Dasar Playboy, pikirku. Mengingat, Erick masih memiliki pacar yang kebetulan aku juga mengenalnya. (Sorry rick, bocor! Tapi namanya, ga disebut kok).

Tak berapa lama dari itu, Pak Dewa memanggil kami dari dipan pos satpam. Wajahnya mendadak suram, suaranya pun terdengar sedu.

“Pater Drost menginggal,” ungkap guru Sosiologi dan Antropologi kami.

Kabar itu membuat kami tercengang dan sedih. Tak ayal, kabar meninggalnya Pater Drost tersebar hingga ke penjual makanan yang sedang berbenah. Kebanyakan mereka tak percaya dengan kabar yang didengarnya. Pasalnya, jasa Pater Drost sangat berarti di kehidupan mereka.

“Dulu saya berjualan di depan gonz. Karena Pater Drost lah, akhirnya saya bisa berjualan disini,” ungkap Joko, penjual soto madura yang biasanya aku beli di kantin Kolese Gonzaga.

Dewa Agus Irianto. Lelaki tua ini memiliki temperamen keras. Sikapnya sendiri juga terkesan arogan tapi terkadang “asik”. Entah itu membahas soal stratifikasi sosial atau “pelajaran” diluar sekolah! Namun, sore itu kelakuannya berubah drastis. Mungkin, ia guru yang paling sedih mendengar kabar Pater Drost meninggal.

“Aku ingat betul waktu Pater Drost menyuruh untuk mengajak tukang gorengan bersekolah di Gonzaga. Tukang gorengannya aja sampai bingung mendengar ajakanku. Katanya, Yang mboten-mboten (benar-benar, bahasa jawa) aja Pak, saya lebih memilih menggoreng pisang dibading sekolah. Huh, sayang betul,” Tambah guru berkumis tebal dan kurus ini.

Peringai sosok Pater Drost memang meninggalkan kesan mendalam bagi teman, kolega, hingga muridnya. Halus, sopan, dan tegasnya itu yang membuat mereka rindu. Namun yang ada sekarang hanyalah kenangan yang terangkum lewat segaris noda pena. Yang akan terus menghubungkannya dengan si penghuni Girisonta.

Akan selalu disini Pater, di dalam memori dan hati kami.

Ditulis oleh Diemas Kresna Duta

Sabtu, 07 Maret 2009

27s Club (Kurt Cobain)

Foto: Rolling Stone Magazine

Jauh sebelum kabar kematian Kurt Cobain tersiar, Isu pemakaian narkotik musisi satu ini kian berkembang dikalangan media. Dalam buku ”Heavier to Heaven” karya Charles R. Cross, awal perkenalan Cobain dengan “barang haram” bermula ketika ia berusia 13 tahun. Ketika itu Cobain mencoba mariyuana atau Ganja. Baru di tahun 1986, ia memakai heroin dan pecandu berat obat penenang, valium. Dari kebiasaannya ini lahirlah sebuah karya fenomenal dan legendaris, Nevermind. Sebuah album yang melambungkan nama Nirvana ke deretan album terlaris di tahun ’90-an.

Gay

Cobain lahir dari pasangan Donald dan Wendy Cobain pada 20 Februari 1967 di Aberdeen, Washington. Sehubungan dengan kebudayaan Amerika dalam pemberian nama yang diambil dari nama keluarga laki-laki, sang ayah menamainya Kurt Donald Cobain. Namun belakangan ia lebih dikenal luas dengan nama Kurt Cobain.

Semasa kecil, Cobain dinilai sebagai anak yang memiliki selera musik yang tinggi. Ia hafal betul dengan lagu berjudul Hey Jude karya The Beatles, sederet lagu karya Buzz Osborne, juga band metal AC/DC, dan The Melvins. Tak ayal ia memiliki nilai seni yang tinggi, namun jeblok di nilai olahraga.

Sewaktu bersekolah dan tinggal di rumah pamannya di Montesano, Washington, Cobain memiliki seorang teman yang gay. Saat itu psikisnya mudah terpengaruh akibat perceraian orang tuanya ketika ia berusia 8 tahun. Kurt Cobain tumbuh dalam keluarga yang minim perhatian. Hal inilah yang mengakibatkan Cobain kerap melakukan perkelahian dan vandalisme. Mencoret tembok rumah sakit hingga fasilitas umum sudah menjadi kebiasaannya. Semuanya berbau quotes gay, “Homo Sex Rules”, “God is Gay”, dan “Gay in Spirit”. Namun dalam catatan hariannya, Cobain menulis, “I am not gay, although I wish I were, just to piss off homophobes.”

Disaat umur 15 tahun, Cobain dipaksa ibunya untuk pindah dan tinggal di Aberdeen, Washington. Ketika itu kehidupan Cobain kian diselimuti kegalauan dan ketidakberesan. Ia pun dikeluarkan dari sekolah dikarenakan nilainya tidak mencukupi di dua minggu sebelum graduation day. Ibunya sangat marah dan malu. Ia menghadapkan Cobain pada dua pilihan. Mencari kerja atau keluar dari rumah.

Tak disangka Cobain memilih pilihan kedua. Dengan beberapa helai kaos yang ia bawa dari rumah, Cobain hidup berpindah dari teman satu ke teman lainnya. Kolong jembatan sungai Wishkah pun sempat menjadi saksi bisu kehidupan Cobain muda. Dari sini inspirasi pembuatan lagu “Something in the Way” terbesit.

Baru pada tahun 1986 akhir, Kurt Cobain mulai menetap disebuah rumah. Ia menyewanya dari hasil bekerja menjadi pelayan disebuah resort, 20 mil dari Aberdeen. Dari gajinya, Cobain mampu menghidupi diri dan menyaksikan konser musik rock yang diadakan di penjuru Amerika. Tetap saja trauma akan keadaan keluarganya terus membayangi kehidupan Cobain.

Nirvana

Perkenalan dengan Krist Novoselic pada 1985 merupakan awal Kurt Cobain berkecimpung di dunia indrustri musik. Krist merupakan anak seorang pemilik salon yang tinggal tidak jauh dari rumah Cobain di Aberdeen. Mereka berkenalan sewaktu sama-sama berada di sekolah lanjutan dan pecinta grup The Melvins. Ketika itu Cobain sudah membentuk band yang dinamai Fecal Matter. Baru setelah Krist bergabung di tahun 1987, mereka memustuskan mengganti Fecal Matter menjadi Nirvana.

Album pertama Nirvana berjudul Bleach. Lagu seperti Love Buzz dan About a Girl dirasa cocok menjadi andalan. Mereka merilisnya tahun 1989 di studio Sub Pop Records yang disokong oleh produser lokal bernama Jack Endino. Di tahun ’80-an akhir, Alternatif Rock kian digandrungi mayoritas anak muda Amerika dan menjadikannya gaya hidup. Hal inilah yang mempengaruhi Nirvana memberikan warna Alternatif Rock atau Grunge dalam musiknya.

Tepat di pertengahan tahun 1990, Dave Grohl bergabung mengisi posisi drummer Nirvana. Sebelumnya posisi ini hanya diisi additonal player seperti Aaron Burckhard (1987), Dale Crover (1988), Dave Foster (1988), Chad Channin (1989), Jason Everman (1989), dan Peters (1990). Dave merupakan sahabat Krist yang seringkali berdiskusi mengenai musik. Ia tertarik melihat karir Nirvana yang terus menanjak lewat konser yang dilakukan di Amerika, Kanada, hingga Eropa.

Nirvana kembali menelurukan album yang diberi nama Nevermind pada 24 September 1991. Dengan list Lagu seperti Smells Like Teen Spirit, Something in the Way, Breed, Polly, Lithium, Come as You are, On A Plain, nama Nirvana kian tenar dikalangan penggemar musik Grunge dan menduduki peringkat teratas dalam chart lagu terpopuler di Amerika. Ia pun disandingkan dengan band-band besar macam Alice in Chains, Pearl Jam, dan Soundgarden. Majalah Rolling Stone edisi tahun 2001 sendiri mengatakan, Nevermind merupakan awal bagi Nirvana mencapai puncak popularitas dan keemasan sampai pada tahun 1994. Dimana di tahun itu, karir Nirvana meledak, ketika sang frontliner, Kurt Cobain ditemukan tewas mengenaskan dan menjadi misteri. “Ini merupakan album yang luar biasa dalam ranah musik grunge dan musik dunia,” ujar Simon dan Schuster. Dua orang kolumnis du Rolling Stone Encyclopedia of Rock & Roll.

Berselang 2 tahun dari Nevermind, album In Utero berhasil dirilis. Di dalamnya terdapat lagu seperti All Apologies, Rape Me, dan Pennyroyal Tea yang lagi-lagi menduduki deretan lagu teratas. Terdapat pula live album Nirvana yang dirilis setelah “sang pentolan” tewas di tahun 1994. MTV Unplugged in New York pada November 1994, From the Muddy Banks of Wishkah di 1 Oktober 1996, You Know You’re Right tahun 2002 dan video Live! Tonight! Sold Out!! tahun 1994.

Misteri Kematian

Berita ditemukannya mayat Cobain oleh seorang teknisi pada 8 April 1994 sangat menyita perhatian publik. Cobain tewas mengenaskan di rumahnya, di Lake Washington, Amerika. Tak jauh dari tubuh Cobain, ditemukan sebuah shotgun dan sehelai “surat wasiat”. Rentetan pertanyaan muncul seiring dengan bukti itu sampai sekarang. Kurt Cobain bunuh diri atau dibunuh?

***

Bukti mencengangkan datang dari seorang laki-laki bernama Tom Grant. Grant merupakan investigator pribadi yang bertugas di kepolisian California, Amerika. Awalnya ia disewa Courtney Love untuk melacak keberadaan Cobain. Mengingat sejak tanggal 1 April 1994 Cobain menghilang dari pusat rehabilitasi di Marina Del Rey, California.

Dari pengamatannya, Grant menemukan keganjilan dari penyebab kematian Cobain. Bagaimana bisa shotgun kaliber 12 yang sering digunakan untuk menembak burung mampu membuat berantakan isi kepala Cobain. Selain itu, hilangnya kartu kredit ikut mempertajam motif pembunuhan. Isu pun berhembus. Love ditengarai berada dibalik kematian suaminya. Fakta enggan bercerainya Love dengan Cobain sudah diketahui media. Pasalnya, Cobain merupakan musisi yang memiliki talenta dan kaya raya. Tidaklah mungkin seeorang Love yang kerap kali menghabiskan ribuan dolar dalam sebulan mau melepaskan Cobain...

Desember 1994. Dalam keterangannya di press conference, Grant menunjukkan hasil visum yang didapat ketika tubuh Cobain diotopsi. Dari data yang ada, darah Cobain mengandung 1.52 miligram heroin per liter. Jika dilihat dari kebiasaan Cobain mengonsumsi heroin, angka ini sangat mengejutkan. Untuk mencapai angka tersebut, Cobain harus menyuntikkan 225 miligram dalam sehari. Sementara itu, disaat menjalani masa rehabilitasi, Cobain sudah berangsur membaik dalam penggunaan heroin. Dan dari hasil visum pula, Cobain ditengarai tewas pada 5 April 1994. Tiga hari sebelum ditemukan tewas dengan surat wasiat yang ditujukan untuk anaknya, Frances Bean Cobain. Diemas Kresna Duta


Sumber:

Cross R. Charles, Heavier than Heaven: Biography of Kurt Cobain
Fricke.
David, (1994). Courtney Love: Life After Death, Rolling Stone Magazine
Halperin, Ian & Wallace, Max (1998), Who Killed Kurt Cobain?
27sclub.com

Freddy Mercury

Foto: gamespot.com

20 April 1992. Sebuah perhelatan musik besar digelar di Wambley Stadium, tepat dijantung kota London, Uk. Metalica, U2, Extreme, Gun ‘n Roses, Def Lepard, Elton John, dan sederet artis besar lainnya ikut ambil bagian. Lebih dari 1 miliar pasang mata menyaksikan konser bertajuk “The Freddie Mercury Tribute Concert for AIDS Awareness” yang disiarkan stasiun televisi ke penjuru dunia. Tujuannya sebagai penghormatan untuk sang legenda, Freddy Mercury dan mendukung program pencegahan penularan HIV atau Human Immunodeficiency Virus yang diusung organisasi nirlaba, The Mercury Phoenix Trust.
***
Freddy Mercury lahir di pulau Zanzibar, Bombay, India pada 5 September 1946. Nama aslinya Farrokh Bulsara. Bomi dan Jer Bulsara orangtuanya adalah penganut Zoroastrianism. Sebuah kepercayaan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat gujarat dengan dewa utama Zoroastrian.

Farrokh menghabiskan masa kecilnya di daerah Panchgani, Bombay. Sewaktu bersekolah di St, Peter School, ia dikenal sebagai anak yang cerdas. Farrokh menyukai olahraga tinju dan bermain piano. Teman sekelasnya pernah berujar, “he had an uncanny ability to listen to the radio and replay what he heard on piano." Mulai dari sini mereka memanggil Farrokh dengan “Freddie”. Pada era ’80 an dunia mengenalnya dengan Freddy Mercury.

Di umur 17 tahun, Freddy dan keluarga pindah ke Feltham, London. Hal ini akibat revolusi sosial yang terjadi di Zanzibar tahun 1964. Ia kemudian bersekolah di West Thames College dan meneruskan kuliahnya di jurusan Art and Graphic Design. Freddy mendapat gelar Diploma di Ealing Art College tahun 1968.

Musik

Kepindahannya ke Inggris mempengaruhi selera Freddy Mercury dalam bermusik. Saat itu ia gemar mendengarkan karya Elvis Presley, Jimi Hendrix, The Beatles, dan The Rolling Stone. Band pertama yang dibentuk Freddy ialah Ibex. Ia membentuknya sesudah lulus kuliah dan bekerja sebagai pegawai airport di tahun 1969. Freddy mengganti nama Ibex menjadi Wreckage. Sayang, band ini tidak hidup lama. Freddy kemudian bergabung dengan band, Sour Milk Sea. Lagi-lagi, bandnya bubar pada akhir tahun.

Pertemuaan Freddy dengan Bryan May dan Roger Taylor terjadi di April 1970. Ketika itu mereka sepakat membentuk band baru yang dinamai Smile. Baru setahun kemudian, John Deacon bergabung dan mengisi poisisi bass. Atas usul Freddy, Smile berubah menjadi Queen. Keputusannya tepat. Tak lama berselang dari album pertamanya yang berjudul Queen I di tahun 1973, nama Queen melesat. “I thought up the name Queen. It's just a name, but it's very regal obviously, and it sounds splendid, It's a strong name, very universal and immediate. It had a lot of visual potential and was open to all sorts of interpretations,” ungkap Freddy Mercury ketika itu.

Selain dikenal sebagai vokalis atraktif yang memiliki karakter suara bariton, Freddy Mercury dikenal pula sebagai pianis dan pencipta lagu yang handal. Sederet lagu seperti Bohemian Rhapsody, Killer Queen, Somebody to Love, Don't Stop Me Now, Good Old Fashion Lover Boy, Save Me, Love of My Life, We Are the Champions, dan "Crazy Little Thing Called Love ia lahirkan dalam 33 album single maupun kompilasi Queen. Tak pelak, majalah Rolling Stone di tahun 2008 memasukkan nama Freddy Mercury dalam daftar 100 penyanyi terbaik sepanjang masa.

Gay dan HIV

Kisah cinta Freddy mercury bermula ketika perkenalannya dengan Mary Austin di awal tahun 1970. Austin merupakan seorang wanita yang dikenalkan Bryan May ketika Queen rehat tur. Austinlah yang menginspirasi Freddy menciptakan lagu Love of My Life. "The only friend I've got is Mary, and I don't want anybody else. To me, she was my common-law wife. To me, it was a marriage. We believe in each other, that's enough for me," ungkap Freddy dalam wawancaranya dengan harian The Sun.

Isu gay Freddy Mercury ditengarai berada dibalik kandasnya hubungan dengan Austin di pertengahan tahun 1970. Hal ini makin diperkuat ketika Freddy didapati sering berada di Gay Bathhouses and Clubs. Namun, ia baru mengakui dirinya gay ketika seorang paparazi memergokinya jalan bareng dengan perancang rambut terkenal bernama Jim Hutton. Hubungan Freddy dengan Jim Hutton diketahui dimulai tahun 1985. Mereka mengakhiri kisah cintanya 5 tahun kemudian, tepat di tahun 1990.

Di musim semi tahun 1987, Freddy Mercury didiagnosa mengidap HIV oleh dokter. Dalam keterangannya ke publik, ia menyangkal hasil test tersebut. Hal ini mungkin dikarenakan ketakutan Freddy akan karirnya. Mengingat namanya kian tenar akibat pemberitaan maupun isu yang diangkat oleh media. Namun HIV dan bronchial pneumonia terus menggerogoti tubuh Freddy yang kian hari semakin parah.

Lewat rapat yang diadakan manager dan personil Queen pada 22 November 1991, mereka memutuskan untuk membuka keadaan Freddy sesungguhnya pada 23 November 1991. Dalam keterangannya, manager Jim Beach mengungkapkan rasa keprihatinannya terhadap keadaan Freddy yang sudah medekati ajal. Ia berharap para penggemar mengerti tentang kondisi ini. Tak lebih 24 jam dari keterangan resmi tadi, Freddy Mercury meninggal. Hingga kini, kematian Freddy masih menjadi misteri dan kontroversi. Banyak dari penggemar Queen, khususnya sang vokalis tidak percaya akan kematiannya di 24 November 1991. Freddy Mercury, List of the 100 Greatest Singers of All Time, Rolling Stone Magazine. Diemas Kresna Duta

sumber:
List of the 100 Greatest Singers of All Time, Rolling Stone Magazine
thebiographychannel.co.uk
Cain, Matthew, dir. (2006),
Freedie Nercury: A Kind of Magic, London: British Film Institute

Jumat, 06 Maret 2009

27s Club (Jimi Hendrix)

Foto: discoverblackheritage.com

Ketika bertanya siapa yang paling menginspirasi seorang George Clinton, Steve Vai, dan Jonny Lang dalam bermusik, tentunya nama Jimi Hendrix akan pertama keluar dari mulut mereka.

“He did this thing where he would play a chord, and then he would sweep his left hand through the air in a curve, and it would almost take you away from the idea that there was a guitar player here and that the music was actually coming out of the end of his fingers,” tulis Pete Townshend dalam majalah Rolling Stone edisi The 100 Greatest Guitarists of All Time.

27 November 1942. Tepat jam 10.15 siang, seorang bayi mungil menjerit keras di rumah sakit King Country, Seattle, US. Ketika itu Lucille, ibunya masih berumur 17. Sementara sang ayah, Johnny Allen Hendrix menamai bayi blasteran afrika–amerikanya dengan James Marshall Hendrix. Sebuah nama yang nantinya memiliki pengaruh besar dalam dunia musik di abad 20. Jimi Hendrix.

Jauh sebelum Jimi Hendrix diselimuti wanita dan gelimang uang, ia pernah merasakan sebuah kehidupan yang jauh dari kemapanan. Ayahnya seorang prajurit rendah asal Oklahoma. Sementara Lucille hanyalah seorang ibu rumah tangga yang saban hari cemas menunggu kepastian uang harian. Tak pelak, kehidupan Jimi kecil diisi dengan berpindah kontrakan dari kota ke kota, emosi sang ayah yang gemar mengonsumsi alkohol, hingga kematian sang ibu yang membuatnya depresi dan introvert. Pikirnya, ia harus mengubah keadaan. Terlebih ketika ayahnya membelikan Jimi sebuah Gitar Klasik. Jimi harus mampu menghidupi empat saudaranya. Leon, Josep, Kathy, dan Pamela Hendrix.

Di umur 16 tahun, Jimi tinggal bersama neneknya di, Vancouver, British Columbia. Ia dikenal sebagai anak yang pendiam dan sensitif. Di tempat inilah ia memulai kegiatannya dalam bermusik. Mulai dari cafe sampai klub malam, ia singgahi. Sampai pada akhirnya, Jimi membentuk band yang dinamai The Velvetones dan bersekolah di Garfield High School.

The Velvetones lahir tahun 1958. Musiknya terinspirasi dari Rock ‘n Roll ala Elvis Presley dan lengkingan Blues milik B.B. King. Jimi sempat menyaksikan Elvis tahun 1957 di Seattle. Ketika itu ia sangat terkesima melihat gaya Elvis yang nyentrik dan lincah.

Awal tahun 1960, Jimi Hendrix memutuskan bergabung dengan band yang lebih profesional, The Rocking Kings. Pikirnya dengan keputusan ini, ia dapat mengubah jalan hidup. Namun The Rocking Kings hanya memberikan penghidupan yang sederhana bagi Jimi. Ditambah lagi sekelumit masalah yang datang ketika ia sedang mencoba peruntungannya di musik. Mulai dari masalah hukum, obat-obatan, hingga ajal menjemput secara tragis dipuncak keemasan karir Jimi.

Tentara dan Isu Homoseksual

Jimi pernah tersangkut masalah hukum ketika mobil yang ia kendarai diduga hasil curian. Dalam persidangan ia dihadapkan 2 pilihan. Penjara atau menjadi tentara. Jimi memutuskan untuk menjadi tentara selama 2 tahun. Ia memulai karir keprajuritannya 31 Mei 1961. Ketika itu Jimi bergabung dalam kesatuan 101st Airborne Division yang berpusat di Campbell, Kentucky. Dalam buku berjudul Room Full of Mirrors, Charles Cross mengklaim bahwa Jimi Hendrix pernah jatuh cinta dengan seorang teman laki-laki di kesatuannya.

Lelaki itu bernama Billy Cox. Billy merupakan basis ketika Jimi membentuk band The King Kasuals. Namun isu Jimi Hedrix seorang homoseksual ditanggapinya dengan santai. Jimi menganggap gosip ini merupakan sebuah metode untuk mendongkrak kepopolerannya. Salah, ketika berpikir karirnya akan runtuh.

Setelah keluar dari ketentaraan, Jimi dan Billy Cox tinggal di Clarksville, Tennessee. Saat itu mereka sepakat untuk manapaki karir musik yang sempat terhenti. Rytem dan blues menjadi warna musik yang diusung The King Kasuals. Mengingat ditempat tinggalnya terdapat banyak orang kulit hitam yang menggemari genre tersebut. "The idea of doing that came to me in a town in Tennessee. Down there you have to play with your teeth or else you get shot. There’s a trail of broken teeth all over the stage," terang Jimi kepada media ketika itu.

Jimi dikeluarkan dari The King Kasuals. Kontribusinya dirasa menurun oleh Billy akibat terlalu fokus berpacaran dengan Joyce Lucas. Keputusan ini membuat Jimi frustasi dan kecewa. Baru pada kepindahan ke New York pada Januari 1964, ia kembali menemukan kepercayaan. Orang yang paling berjasa ialah Lithofayne Pridgeon atau biasa disebut Faye, dan si kembar Allen bersaudara, Artur dan Albert Allen yang nantinya dikenal dengan Taharqa dan Tunde-Ra Aleem. Hubungan pertemanan Jimi dan Faye berujung pada kisah percintaan yang tidak lama. Sementara itu, Taharqa dan Tunde-Ra Aleem membantunya ketika merekam lagu berjudul "Freedom".

Dari "Freedom" lah, Jimi mendapatkan penghargaan di Appolo Theatre Contest. Setelahnya tawaran untuk bergabung dengan band Isley Brothers sebagai gitaris, ia terima. Ia mulai dikenal ketika Isley Brothers melakukan tur ke the southern Chitlin' circuit dan merilis album "The Royal Company" yang dipromotori oleh Little Richard pada tahun 1965.

Solo Karir

Kian hari karir Jimi terus berkembang. Namanya semakin dikenal oleh penggemar musik Blues Amerika. Di akhir tahun 1965, ia bergabung dengan band bernama Curtis Knight and the Squires. Dalam perjanjiannya, Jimi mendapatkan royalti $1 dan 1% dari setiap penjualan album. Pengalaman ini memberikan pelajaran serta keuntungan bagi Jimi. Setelah Curtis Knight and the Squires, ia sempat bergabung dengan Bobby Taylor & the Vancouvers, King Curtis and Ray Sharpe, dan Jimmy Norman & Billy Lamont, hingga awal solo karirnya sebagai gitaris handal dengan performa yang atraktif dan "canggih".

Sebuah pertemuan dengan Linda Keith yang merupakan kekasih gitaris band The Rolling Stone, Keith Richard di Cheetah Club tahun 1966, merupakan awal dari solo karir seorang Jimi Hendrix. Dari sana ia dikenalkan dengan Andrew Loog Oldham, Seymour Stein, dan Chas Chandler. Mereka merupakan tim manager yang melambungkan The Rolling Stone diranah musik dunia. Ketika itu Chandler mengusulkan Jimi melebarkan sayap karirinya ke London, Inggris dan bergabung dalam managemen Ex- Animal yang dimanageri oleh Michael Jeffery. Jimi Hendrix sepakat. Band solonya ia namai The Jimi Hendrix Experience. Komposisi pemainnya, Noel Redding pada bas, Mitch Mitchell sebagai penggebuk drum, dan Jimi sendiri di gitar.

Dalam pembentukkan The Jimi Hendrix Experience, Chandler sempat pula mengenalkan Jimi dengan musisi Inggris kenamaan seperti Pete Townshend dan Eric Clapton. Sebelum berkarir dengan band solonya, Jimi sempat bermain dengan Cream yang digagas Erick Clapton. Mereka semakin dekat dan menjadi sahabat. Tidak sedikit masukan Clapton menjadi pertimbangan Jimi Hendrix dalam memoles karyanya. Sampai-sampai kebiasaan humor Jimi saat tampil di panggung, dipengaruhi dari musisi yang menciptakan lagu fenomenal untuk anaknya yang tewas jatuh dari apartemen, Tears in Heaven.

Album pertama The Jimi Hendrix Experience berjudul "Are You Experience". Album ini dirilis pada 12 Mei 1967 dan dipasarkan ke Inggris, Amerika, dan Kanada. Belum genap satu tahun, album Axis: Bold as Love lahir. Dalam Axis: Bold as Love terdapat lagu andalan yang hingga kini masih sering didengar. Disana ada "Little Wing" dan "If 6 Was 9" yang kental dengan perpaduan blues dan musik efek. Karena banyaknya permintaan untuk membuat lagu baru, Jimi akhirnya menelurkan album Electric Ladyland pada tahun 1968. lagi-lagi albumnya meledak. Ketika itu ia sangat disibukkan dengan tur sepanjang Eropa dan Amerika.

Drugs

Ketenaran Jimi Hendrix di era 1960-an mengakibatkan kehidupannya berubah total. Saat itu ia memiliki banyak uang yang mampu membeli segalanya. Terlebih untuk wanita dan obat-obatan. Hal inilah yang nantinya akan menjadi akhir dari karir seorang Jimi Hendrix. Yakni ketika pada 18 September 1980, Jimi ditemukan tewas over dosis di Samarkand Hotel, London. Saat itu Jimi sedang bersama sang kekasih baru, Monika Dannemann.

Dalam bukunya, Monika mengungkapkan Jimi over dosis setelah mengonsumsi 9 vesperax dengan wine. Hal ini jelas menggemparkan pecinta musik blues. Tak sedikit dari penggemarnya datang ke makamnya di Greenwood Memorial Park, Renton, Washington. Bahkan di hari ulang tahunnya, selalu ada pesta kecil untuk memeriahkan ulang tahun sang legenda musik blues. Diemas Kresna Duta

sumber:
Charles R. Cross, Room Full Of Mirrors: A Biography Of Jimi Hendrix', 2005
Townshend. Pete, Rolling Stone Magazine, The 100 Greatest Guitarists of All Time
Ken Matesich, Jimi Hendrix: A Discography, 1982
27sclub.com