Kamis, 19 Maret 2009

Hilang

"... Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan. Disana bersemayam kemerdekaan. Apabila engkau memaksa diam, aku siapkan untukmu: pemberontakan!".

"Thukul hilang dalam perjuangan. Saya bangga bisa menjadi bagian dari hidupnya."

Air mata Mbok Sipon sesekali menetes. Selendang merah jambu yang ia sematkan dileher, diusapnya ke wajah. Jauh di kesadarannya,
pemilik nama asli Dyah Sujirah cukup puas. Wiji Thukul telah mampu menjadi contoh yang baik dan berani. Bukan hanya untuk Fitri Nganti dan Fajar Merah anaknya, tetapi juga bangsa yang sedang sekarat.

"Aku terakhir ketemu mas Thukul di Jogja. Waktu itu kami ajak Fajar dan Wani jalan-jalan ke Kebun Binatang Gembiraloka. Setelahnya aku tidak bertemu lagi. Kabar terakhir ia sempat terlihat di Depok, " ujar Sipon.

12 Mei 2007. Sebuah spanduk pengumuman berukuran 1x4 meter terpampang di depan Kampus Fisip, Unpad, Jatinangor. Kali ini teman-teman Komunitas Jumat Malam punya hajat kecil tapi berarti. Dengan tema "Merekam Ketidakadilan melalui Seni", aku sempat mengingat kembali sosok Wiji Thukul. Seorang guru yang kini tinggal di Amerika Serikat sempat menceritakan tentang perjuangan Thukul sewaktu aku di SMA.

"Puisinya sangat berani dan keras. Tak heran jika penguasa menghilangkannya."

Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 di Sorogenen, Solo, Jawa Tengah. Semasa kasatnya, ia dikenal sebagai penyair, aktivis, dan seniman Kelompok Teater Jagat Aktivis. Dia juga sering terlihat dalam aksi-aksi yang dilakukan bersama Partai Rakyat Demokratik pimpinan Budiman Sudjatmiko. Ada waktu dimana Thukul membacakan puisi dalam sebuah aksi untuk buruh.

Sontak aksi ini menimbulkan reaksi keras dari pemerintah. Soeharto berasa kebakaran jenggot. Tak pelak PRD dan sejumlah organisasi macam Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jangker), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan lainnya ikut masuk dalam daftar terlarang. Tepatnya 28 Desember 1997, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan waktu itu, Soesilo Soedarman menginstruksikan penangkapan. (Kompas, 12 Desember 2002).

***

Teater Cassanova. Siang itu mereka tampil membacakan puisi karya Thukul yang sangat fenomenal. Dengan gaya teaterikal yang apik, Cassanova mengajak pengunjung untuk terhanyut dalam perjuangan Thukul.

Aku bukan artis pembuat berita. Tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa. (Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa)

Suatu saat kami akan tumbuh bersama. Dengan keyakinan: engkau harus hancur! Dalam keyakinan kami. Di manapun – tirani harus tumbang!
(Bunga dan Tembok)

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan! (Peringatan)


Aku terenyuh ketika mendengar puisi berjudul Peringatan dibacakan. Buatku puisi ini sangat menggambarkan situasi dan kegundahan hati Thukul kala itu. Di akhir acara Mbok Sipon mengutarakan harapan besar mengenai keberadaan Thukul, suaminya. Walaupun kecil kemungkinan "sang Peluru" kembali hadir dalam kehangatan keluarga.

"Mudah-mudahan Mas Thukul tidak lagi menemuiku hanya lewat mimpi. Melainkan bisa pulang dan bercanda lagi di rumah bersama anak-anak."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar