Delapan tahun sudah perempuan ini “bercengkrama” di tengah rimba Bukit 12, Jambi. Dengan fasilitas dan sarana yang minim, ia pun berikar: “aku ingin Orang Rimba pintar”.
*
Saur Marlina Manurung lahir di Jakarta pada 21 Februari 1972. Ia merupakan anak sulung dari 5 bersaudara. Di keluarga, Butet, panggilan akrab Saur memang agak berbeda dibandingkan saudara-saudaranya. Hal ini terlihat jelas pada hobinya yang tak lazim bagi kaum hawa, mountaineering (naik gunung).
Kecintaan Butet pada kegiatan yang penuh adrenalin ini, bermula ketika ia menjadi anggota mahasiswa pecinta alam di Univesitas Padjadjaran, Palawa. Dari sinilah ia sering “jalan-jalan” dan akhirnya menetap selama delapan tahun di Bukit 12, Provinsi Jambi. Bukit 12 sendiri merupakan Taman Nasional yang terdapat di daerah Jambi. Di bukit ini terdapat suku asli Jambi, Suku Anak Dalam.
Menurut Butet, di Bukit 12 ia dapat merasakan kedamaian yang tak ia temui di daerah lainnya. Oleh karena itu dia sangat mencintai alam dan kebudayaan aslinya.
“Alamnya indah, orang-orangnya pun sangat polos,” ujar lulusan jurusan Bahasa Indonesia dan Antropologi Universitas Padjadjaran.
“Jalan-jalan” Butet ke Kawasan Taman Nasional ini, bermula ketika tahun 1998. Kala itu terkesan akan pola hidup Orang Rimba, sebutan Suku Anak Dalam yang harmonis. Tak pelak, ia ingin menetap dan menjadi bagian dari mereka.
Di awal kedatangannya, Butet sempat dikucilkan dan diusir dari Bukit 12. Oleh karena niat yang tulus dan tak patah asa, akhirnya Butet dapat diterima dengan baik oleh Orang Rimba.
“Awalnya justru ngeri. Aku bahkan pernah ingin disantet oleh mereka,” cerita Butet sambil tertawa.
Setelah berapa lama tinggal disana, Butet akhirnya mengenal cara hidup mereka, mulai dari cara bersosialisasi, upacara adat, hingga mencari makan. Namun ada yang terasa kurang di kehidupan mereka ungkap Butet yakni pendidikan.
“Saya miris sekali ketika mereka tidak bisa menulis dan membaca. Tanpa pendidikan, mereka dapat dibodohi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab,” ujarnya.
Dengan semangat melawan “keterbatasan”, ia akhirnya mendirikan sekolah yang ia namakan Sokola Rimba (sekolah rimba, dalam bahasa Jambi). Awalnya, niat ini sempat ditolak oleh tetua adat Orang Rimba. Mereka berpikir kalau anak-anak bersekolah, hal itu akan menghabiskan waktu saja.
Tanpa kenal putus asa, Butet secara diam-diam mengajak anak Orang Rimba belajar baca tulis. Dari dua orang hingga belasan anak ia ajar. Dengan gigih dan sabar Butet mengajari anak-anak tersebut. Mulai dari mengeja huruf hingga berhitung.
“Orang Rimba harus pintar,” kata Butet bersemangat.
Melihat keinginan kerasnya mengajari anak Orang Rimba, tetua adat akhirnya setuju dengan niat Butet. Mereka mengijinkan Butet untuk mengajar baca tulis kepada anak-anaknya. Dari sinilah Butet terinsipirasi untuk membuat sebuah buku yang ia namai Sokola. Diharapkan dengan adanya buku ini pemerintah dan masyarakat sadar akan pentingnya sebuah kebudayaan.
“Kebudayaan itu identitas bangsa. Bukan Indonesia jika tak ada kebudayaan,” terang perempuan yang mendapat gelar Man and Biosfer yang diberikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar