Sabtu, 14 Maret 2009

Kernmantel, Bom Rakitan, dan Tukang Soto

“Hey nak, jangan lupa pakai tali pengaman kalau ingin wall climbing!”

Rasanya pesan itu belum lama aku dengar dari bibir tipis Pater (Bapak dalam bahasa Jerman) Drost. Begitu lembut, begitu bersahaja.

**

Aku mengenal Pater Drost sejak pertengahan Juli 2002. Ketika itu namanya sering disebut guru bahasa dan sastraku sebagai salah satu tokoh idolanya.

“Beliau orang yang cerdas. Saya bangga bisa belajar dengan orang macam dia,” terang Ibu Purwanti disela-sela kelas sastra.


Ignatius Josephus Gerardus Drost lahir di Jakarta pada 1 Agustus 1925. Ia merupakan anak dari pasangan Henricus A. Johanes Drost dan Maria Louise Regina Eckmann.

Di tahun 1930-an, Drost kecil tinggal di Belanda. Ketika Jerman berhasil menguasai Belanda pada Perang Dunia II, ia kemudian pindah kuliah dan menjadi buruh pabrik di Jerman. Pater Drost juga sempat tinggal di Myanmar. Ketika itu ia melarikan diri dari kejaran tentara Jerman.

Untuk mengelabui tentara Jerman yang ketika itu mewajibkan anak mudanya menjadi tentara, Pater Drost menyamar sebagai seorang petani. Siasat ini berhasil. Baru setelah PD II usai, kira-kira pertengahan tahun 1945, ia kembali ke Belanda dan memutuskan menjadi Pastor di ordo Serikat Jesuit. Tepatnya di Novisiat Mariendaal, Grave, Belanda, tanggal 1 Februari 1946.

Dua tahun lamanya, Pater Drost menjalani masa Juniorat di Novisiat Mariendaal. Sampai akhirnya di tanggal 28 Oktober 1948 ia kembali negara tempat beliau lahir, Indonesia. Kecintaan Pater Drost terhadap Indonesia, mendorong kuat dirinya untuk menjadi Warga Negara Indonesia (nasionalisasi) di tahun 1951.

Sembilan tahun berselang, tepatnya tanggal 22 Agustus 1960 ia ditahbisan menjadi imamat oleh Mgr. Alb. Soegijapranata, S.J. di Yogyakarta. Ia pun menjalani Formatio Tersiat pada bulan September 1961-Juli 1962 di St. Andra, Austria. Semacam pendidikan lanjutan bagi Pastor Serikat Jesuit. Hingga pada 2 Februari 1963, beliau mengucapkan kaul akhir di Yogyakarta.

Selama di Indonesia, Pater Drost sempat belajar filsafat di Yogyakarta tahun 1949-1952, studi Ilmu Pasti dan Alam di ITB tahun 1952-1957, dan pendidikan teologi di Yogyakarta tahun 1957-1961. Tak pelak, beragam prestasi di dunia pendidikan Indonesia ia ukir. Salah satunya menjadi Rektor IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta di tahun 1967 hingga 1976.

Untuk seorang Pater Drost, gelar sebagai Rektor di perguruan tinggi tidak memberikannya suatu penghargaan yang berarti. Berbeda dengan kebanyakan orang yang diangkat menjadi Rektor, kemudian lupa diri.

“Saya lebih senang dikatakan sebagai pendidik, ketimbang gelar macam itu,” ujar Pater Drsot dengan senyum lembutnya, sewaktu mengobrol dengan aku dipelataran aula Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, Januari 2005.

Setelah melepaskan jabatan Rektor IKIP Sanata Dharma, Pater Drost diangkat menjadi Direktur SMA Kanisius Jakarta tahun 1977-1986. Di tempat inilah, ia kemudian memfokuskan konsentrasinya pada pendidikan sekolah menengah. Banyak tulisan dan buku telah Pater Drost hasilkan. Mulai dari kritik terhadap kebijakan Mentri Pendidikan Indonesia, “Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) hingga Kurikulum Bertujuan Kompetensi (KBK)”, Gramedia, 2005 sampai pada “Kesalahan Orang Tua Indonesia dalam Mendidik Anaknya, ia proyeksikan. Tujuannya satu, agar masyarakat Indonesia bisa berpikir logis dan “maju”.

***

Tahun 1987. Pastor bertubuh besar ini memiliki ide untuk membangun sekolah yang sama dengan Kanisius. Letaknya di daerah Jakarta selatan, dekat dengan kantor Surat Kabar Republika. Dulu, Gonzaga bernama Kolese Kanisius Cabang Selatan. Baru sekitar tahun 1988, kemudian berganti nama. Sebelumnya, jauh sebelum gonz dibangun, terdapat Seminari Wacana Bhakti. Sekolah ini bertujuan untuk mendidik anak-anak muda yang berkeinginan menjadi Pastor. Walaupun dalam prosesnya, kebanyakan dari mereka tidak tahan dan akhirnya jebling, keluar.

Di Kolese Gonzaga, Pater Drost ingin mewujudkan mimpinya. Impiannya sederhana, mencetak generasi-genarasi muda yang nantinya dapat memimpin bangsa. Kurikulum dan beberapa kebijakan, ia rancang. Mulai dari keharusan keluar, dropout jika tidak naik kelas hingga rambut gondrong, ia tetapkan. Dapat dipastikan, hal ini jarang ada di sekolah manapun. Sebab itu, sosok Pater Drost terlalu membekas di murid-muridnya.

“Saya senang masih bisa bertemu anak muda macam kalian. Punya semangat dan keberanian untuk terus belajar, bukan hanya pelajaran melainkan juga hidup,” ujar Bounty menirukan perkataan Pater Drost.

Dexter Bounty. Boleh dibilang ia sang maestronya Gonzaga. Lelaki yang memiliki tato bertuliskan “Old Fashioned Lover Boy”, judul lagu band asal Inggris, Queen, dilengan kirinya ini masuk Kolese Gonzaga tahun 1987. Sebelumnya, Bounty sempat belajar di Kolese Kanisius. Karena kasus penghancuran fasilitas sekolah dengan bom rakitan, ia dropout.

“Jujur, gua ngerasa berhutang budi banget sama Pater Drost. Dengan tingkah laku gua kayak gini, beliau bisa terima gua lagi sebagai muridnya,” cetusnya.

Sabtu, 19 Februari 2005. Pukul 15.40.

Sore itu, aku, Erick dan Dion nongkrong di kios rokok “Phil”. Letaknya di depan sekolah, menjorok ke kanan. Kios ini berdiri sejak tahun 1990. Anak-anak selalu kongkow disini, sembari menunggu bel pagi masuk.

aku dan Cupluk, panggilan akrab Dion membeli rokok merek Djarum Super setengah bungkus, sedang Erick tak mau kalah. Ia beli sebungkus. Sekalian buat malam katanya.

Ketika itu, Erick bercerita tentang perempuan yang ditaksirnya. Mulai dari rencana kenalan hingga ngapel, ia strategikan. Dasar Playboy, pikirku. Mengingat, Erick masih memiliki pacar yang kebetulan aku juga mengenalnya. (Sorry rick, bocor! Tapi namanya, ga disebut kok).

Tak berapa lama dari itu, Pak Dewa memanggil kami dari dipan pos satpam. Wajahnya mendadak suram, suaranya pun terdengar sedu.

“Pater Drost menginggal,” ungkap guru Sosiologi dan Antropologi kami.

Kabar itu membuat kami tercengang dan sedih. Tak ayal, kabar meninggalnya Pater Drost tersebar hingga ke penjual makanan yang sedang berbenah. Kebanyakan mereka tak percaya dengan kabar yang didengarnya. Pasalnya, jasa Pater Drost sangat berarti di kehidupan mereka.

“Dulu saya berjualan di depan gonz. Karena Pater Drost lah, akhirnya saya bisa berjualan disini,” ungkap Joko, penjual soto madura yang biasanya aku beli di kantin Kolese Gonzaga.

Dewa Agus Irianto. Lelaki tua ini memiliki temperamen keras. Sikapnya sendiri juga terkesan arogan tapi terkadang “asik”. Entah itu membahas soal stratifikasi sosial atau “pelajaran” diluar sekolah! Namun, sore itu kelakuannya berubah drastis. Mungkin, ia guru yang paling sedih mendengar kabar Pater Drost meninggal.

“Aku ingat betul waktu Pater Drost menyuruh untuk mengajak tukang gorengan bersekolah di Gonzaga. Tukang gorengannya aja sampai bingung mendengar ajakanku. Katanya, Yang mboten-mboten (benar-benar, bahasa jawa) aja Pak, saya lebih memilih menggoreng pisang dibading sekolah. Huh, sayang betul,” Tambah guru berkumis tebal dan kurus ini.

Peringai sosok Pater Drost memang meninggalkan kesan mendalam bagi teman, kolega, hingga muridnya. Halus, sopan, dan tegasnya itu yang membuat mereka rindu. Namun yang ada sekarang hanyalah kenangan yang terangkum lewat segaris noda pena. Yang akan terus menghubungkannya dengan si penghuni Girisonta.

Akan selalu disini Pater, di dalam memori dan hati kami.

Ditulis oleh Diemas Kresna Duta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar