Sabtu, 14 Maret 2009

Asvi Warman Adam: “Sejarah itu Juga Harus Ditulis dalam Perspektif Korban”

Sabtu lalu (14/11) Hotel Crowne Plaza, Jakarta punya tiga acara penting. Penyerahan Nabil Award 2008, peluncuran dan bedah buku karya DR. Mary Somers Heidhues, dan The Best Executive Award 2008. Tak lama duduk di sofa empuk lantai tiganya, seorang lelaki memanggil dari dekat pintu balroom. “Sudah lama menunggu ya? Maaf, baru bisa keluar sekarang,” ujar lelaki yang siang itu terlihat elegan menggunakan batik merah dengan hiasan bunga di dada kirinya.

Dialah Asvi Warman Adam. Banyak orang mengenal Asvi Warman Adam sebagai seorang sejarawan yang aktif menulis tentang Soekarno, Gerakan 30 September, hingga Tan Malaka. Tak jarang pula karena tulisannya, Asvi mendapat banyak sms dan telepon bernada ancaman. Bahkan di tahun 2007, kantor kerja Asvi di LIPI didatangi ratusan orang menggunakan sekitar 10 metromini. Mereka berteriak-teriak menggugat Asvi. Intinya tak sepaham dengan tulisan Doktor dari des Hautes Etudes en Science Sociales Paris, Perancis di media massa.

Ada apa dengan tulisan Asvi mengenai Soekarno, Gerakan 30 September 1965, hingga Tan Malaka? Apakah hal ini yang menyebabkan ia dianggap sejarawan “kiri”?

Disela-sela peluncuran dan bedah buku karya DR. Mary Somers Heidhues, Asvi Warman Adam memaparkan mulai dari alasan tulisannya, perkara Soeharto, hingga pada usahanya dalam pelurusan sejarah yang selama ini di”bengkok"kan kepada Diemas Kresna Duta, Mahasiswa Jurnalistik, Fikom, Unpad. Berikut kutipannya:

Pak Asvi, bisa cerita sedikit mengenai awal ketertarikan Anda dalam mengupas sejarah Indonesia?
Tahun 1984 saya berangkat ke Perancis. Selama 6 tahun saya belajar mengenai hubungan Indonesia dengan Vietnam. Ide ini berawal dari saran professor saya yang mengatakan belum ada orang Indonesia yang ahli akan hal itu. Saya pun menjadikan ide ini sebuah disertasi. Setelah kembali ke Indonesia, saya mulai menulis mengenai sejarah hubungan Indonesia dengan Vietnam, Kamboja, dll. Dari sinilah titik awal saya mulai mengupas mengenai sejarah Indonesia.

Anda dikenal luas sebagai sejarawan yang sering mengupas tetang Soekarno, Gerakan 30 September, dan Tan Malaka. Kapan Anda memulainya?

Pada tahun 1998 setelah lengsernya Soeharto, saya mulai giat menulis mengenai gerakan tahun 1965. Ketika itu mulai banyak buku baru yang mengupas mengenai Gerakan 30 September 1965. Pada tahun yang sama, saya tergabung dalam Masyarakat Sejarawan Indonesia dan diangkat menjadi ketua bidang pendidikannya. Mulai dari sini saya banyak diundang untuk memberikan ceramah dan menulis mengenai gerakan 30 September.

Bagaimana sikap Anda ketika melihat korban Gerakan 30 September 1965?

Mereka membuat saya bersimpati dan terkesan. Terlebih ketika korban yang notabane-nya sudah tua datang menghadiri acara itu dengan berpakaian lusuh. Hati saya terenyuh ketika dengan bersemangat mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ditambah lagi ketika usai berceramah mereka memberikan saya uang recehan yang totalnya sekitar Rp 20.000, 00. Bukan nominal yang saya pentingkan, melainkan rasa terima kasih mereka yang membuat saya berpikir bahwa menulis sejarah Gerakan 30 September juga harus dilihat dari perspektif korban. Mengingat selama ini sejarah ditulis oleh mereka yang menang dan berkuasa. Sementara orang yang dibawah dan menjadi korban tidak diperhatikan.

Banyak pihak yang men”cap” Anda sebagai komunis, bagaimana tanggapan Anda?

Oh, itu tidak benar. Saya berasal dari keluarga Muhammadiyah di Bukit Tinggi. Suatu daerah yang terkenal memiliki budaya islam yang kuat. Selain itu ada dari kakak saya yang terlibat dalam gerakan PRRI yang anti komunis. Jadi saya bukan dari keluarga komunis, melainkan dari pihak yang netral. Kalaupun mereka menilainya dari tulisan saya, itu merupakan pembelaan dan rasa simpati saya terhadap korban-korban Gerakan 30 September yang sudah lama menderita dan disakiti. Patut diingat, dalam tulisan saya juga tidak membenarkan gerakan yang dilakukan PKI.

Adakah intervensi dan intimidasi?

Jelas ada dan sudah terbiasa. Bahkan baru-baru ini saya kembali menerima banyak sms dan telpon yang bernada ancaman atau teror menyoal tulisan saya. Saya juga pernah didemo oleh sebagian masyarakat yang menyangka saya seorang komunis. Tepatnya ketika keluar keputusan Jaksa Agung yang melarang buku-buku tanpa menuliskan G30S PKI tahun 2007. Dengan menggunakan sekitar 10 metromini mereka mendatangi kantor LIPI dan berteriak bahwa darah saya halal karena mendukung komunis. Kebetulan saat itu saya sedang tidak berada di tempat. Saya baru mengetahui didemo ketika ada teman yang menelpon.

Dalam Novel “September” karya Noorca M . Massardi, Anda menyimpulkan nama Tosnio Hunu adalah A.H. Nasution dan Mahya Nida adalah Ahmad Yani. Lantas siapa Theo Rosa yang menurut novel ini merupakan dalang utama?

Satu hal yang menarik ketika menghubungkan sejarah Gerakan 30 September dengan karya sastra semacam Novel “September” karya Noorca M. Massardi. Sastra memang cenderung sebuah cerita yang fiksi, namun dalam “September” secara apik Noorca mengungkapkan data-data sejarah yang klop, dengan gaya penulisan tokoh yang terbalik, yang membuatnya fiksi. Dan orang akan menyimpulkan Theo Rosa adalah Soeharto. Tinggal membalikkannya saja. Hahaha…

Sejauh mana Soeharto mem”belok”kan fakta-fakta mengenai sejarah Gerakan 30 September?

Ada hal yang lucu ketika Noorca M. Massardi menerbitkan buku berjudul “Dia” beberapa bulan yang lalu. Kebetulan ketika itu hadir Moerdiono. Anak buah Soeharto yang sempat diangkat menjadi Mentri Sekertaris Negara (Mensesneg) era Orde Baru. Saya sempat menerangkan bahwa “Dia” dan “September” merupakan revisi versi Noorca M. Massardi atas buku “Putih” yang diterbitkan era Orba mengenai Gerakan 30 September. Tapi begitu saya turun dari panggung, Moerdiono langsung menyalami saya dan mengatakan, “Tapi versi saya yang lebih benar, loh..” hahaha.. Jelas, versi yang dianggap benar oleh Moerdiono itu keliru. Dan inilah salah satu bentuk pembelokkan fakta-fakta sejarah Gerakan 30 September oleh Soeharto. Belum lagi adanya pelarang beberapa buku seperti “Dibawah Bayang-Bayang PKI” yang diterbitkan ESAI tahun 1995. Perlu diketahui, saat Soeharto berkuasa semua orang dilarang berbeda pendapat dalam pemahaman sejarah. Kita harus seragam dalam mengetahui sejarah walaupun banyak pembelokkan atas kebenarannya. Era reformasi seperti sekarang sudah lebih baik. Sejarah sudah dapat disajikan dalam versi yang beragam.

Anda merupakan anggota Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Berat yang dilakukan Soeharto. Bagaimana kelanjutan kasus ini setelah Soeharto meninggal?

Amat disayangkan kasus pelanggaran HAM berat Soeharto tidak dilanjuti. Namun kita (Tim) sudah berkesimpulan bahwa Soeharto memiliki indikasi dalam pelanggaran HAM berat. Tapi hal ini masih dalam taraf pengkajian, belum pada tingkat penyelidikan dan penyidikan. Mengacu pada sidang pleno Komnas HAM, akhirnya kasus ini diputuskan untuk tidak dilanjuti lagi. Amat disayangkan memang.

Jadi, apakah wajar ketika beberapa pihak mengultuskan Soeharto sebagai Pahlawan atau Bapak Bangsa?

Saya pikir belum layak dan waktunya Soeharto dianggap sebagai Pahlawan atau Bapak Bangsa. Bagaimana bisa orang yang diindikasi melanggar HAM berat dan dituduh melakukan korupsi dianggap orang yang berjasa bagi negara. Kalaupun mau mengangkat Soeharto menjadi pahlawan, diperlukan dulu adanya penuntusan akan kasus-kasus yang menjeratnya. Jika tidak terbukti bersalah, bisa saja Soeharto diangkat menjadi pahlawan.

Cara-cara apa saja yang dilakukan Soeharto dalam mengambil alih kekuasaan Soekarno?

Ada strategi yang dijalankan Soeharto dalam mengambil alih kekuasaan Soekarno dan menjatuhkan nama Soekarno. Yang pertama menuduh Soekarno ikut membantu Gerakan 30 September dengan putusan Tap MPRS No. 33 Tahun 1967 dan kudeta merangkak yang hasilnya Soeharto menjadi Presiden. Selain itu, dalam buku-buku pelajaran sejarah Soeharto juga jarang menyinggung keterlibatan Soekarno dalam masanya. Ini merupakan strategi dengan konspirasi tingkat tinggi.

Tahun 2003, Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan sempat mengusulkan adanya rehabilitasi nama Soekarno ke Presiden. Menurut Anda, apa alasan Megawati yang urung menindak lanjuti usul ini?

Sangat disayangkan ketika Megawati yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI sekaligus putri sulung Bung Karno urung merehabilitasi nama Soekarno. Saya mendengar dari Bang Ali (Ali Sadikin) bahwa ketika ditanyakan hal ini, Mba Mega hanya diam malah Taufik Kemas yang menjawab. “Ya nanti, jika Megawati terpilih lagi.” Ketika itu memang sedang mendekati Pemilu. Tapi pada akhirnya belum ada rehabilitasi nama Soekarno mengingat Megawati tidak terpilih lagi jadi Presiden.

Apa solusi terbaik dalam meluruskan sejarah Indonesia?

Saya kira harus ada keleluasan dan kebebasan kepada masyarakat dalam menulis fakta-fakta sejarah. Jangan sampai sejarah itu hanya dalam satu versi saja, yakni dari pemerintah. Dan ini merupakan cara dalam mencerdaskan anak bangsa. Intinya dua, kejujuran dan kebenaran.
Lantas apa pesan kepada masyarakat luas sebagai pembelajaran untuk mereka?
Rasanya masyarakat sudah tidak bisa dibohongi lagi dengan fakta-fakta yang “bengkok”. Oleh karenanya diperlukan peran aktif masyarakat dalam meluruskan sejarah-sejarah yang ada. Bangsa Indonesia sarat dengan sejarah, namun sudah menjadi tugas kita untuk meluruskan yang sudah dibengkokkan.

Pemilu tahun 2009 sudah dekat, Pak Asvi tidak tertarik menjadi calon legislatif?

Oh, tidak-tidak. Ini saja sudah cukup. Hahahaha.

Ditulis oleh Diemas Kresna Duta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar